Minggu, 26 Juni 2016

[Cerbung] Hos'Corta - Episode 5





BAGIAN LIMA

Masa Orientasi Siswa

* * *
Namaku Jan. Beruntunglah di kampus nama itu tidak begitu banyak dipakai orang. Beda sekali dengan masa-masa sekolah di Madrasah Aliyah dulu. Nama Jan, meski sebenarnya tak lazim, ternyata dipakai oleh tiga punggawa kelas X-1. Pertama, Jan yang benar-benar aku. Kedua, Jan si ketua kelas. Ketiga, Jan Bastian. Ketiganya tak mau mengalah untuk melepaskan panggilan Jan, sampai suatu ketika terjadi peristiwa mengerikan, yang selalu melibatkan Bu Wali.
Kelas masih sibuk dengan ujian sosiologi, mata pelajaran yang diampu Bu Wali. Urusan ketegasan, serahkan pada beliau. Kau bahkan takkan sempat meminjam bolpoin karena takut dikira mencontek. Tapi tidak denganku.
Hari itu, aku seperti biasa mengambil kesempatan untuk melirik gadis berkerudung putih di sudut kelas. Tentu tanpa sepengetahuannya, karena dia, sama seperti Nurul, sibuk mengerjakan soal-soal ulangan. Wajahnya serius, sama seriusnya ketika membaca buku-buku tebal tempo lalu.
Tanpa sepengetahuan gadis itu, bukan berarti tidak ada seorangpun yang tahu. Dari depan kelas, Bu Wali menangkap sinyal pelanggaran dari arah tempat dudukku. Bu Wali menggeleng, keheranan. Menangkap basah aku tengah melirik jauh ke sudut ruangan. Lantas menegurku keras, “Jan!”. Mengagetkan konsentrasi murid lain yang mungkin baru sampai biodata.
Karena terkaget, Aku, Jan Bastian, dan Jan si ketua kelas menjawab dengan kompak. Sontak, hal tersebut membuat seisi kelas tertawa, bingung, dan terusik. Itulah awal mula yang mendorong Bu Wali untuk berinisiatif membuat konvensi nama panggilan kami bertiga. Meskipun aku tak setuju dengan acara konyol itu, beruntungnya aku yang memenangkan konvensi pemilihan nama panggilan “Jan”.
Kejadian sore ini, telah menghujani ingatanku dengan tetes-tetes masalalu yang penuh kenangan. Peristiwa yang baru saja terjadi, telah membuka kembali ingatanku di masa itu.
Hari itu Senin, akhir Juli. Kami sekelas dalam masa-masa orientasi siswa. Wajah baru, pakaian baru, teman-teman baru, tempat baru, dan semua yang berbaru-baru.
Hey lihatlah, celanaku masih pendek. Bukan main malunya ketika teringat masa itu. Celana yang begitu ketat, lima senti di atas lutut. Warna biru tua yang mencirikan pelajar SMP. Aku masih belum diizinkan mengenakan seragam SMA yang abu-abu. Belum juga dibagikan seragam khas milik Madrasah Aliyah kota. Maka dengan apa adanya, kuikuti masa paling menyedihkan selama tiga tahun itu. Masa orientasi yang sudah terkotori dengan budaya-budaya perploncoan tak mendidik. Tali rapia yang birulah, gelang karet yang ungu bercampur hijau muda. Belum lagi harus mengenakan kaos kaki belang-belang sesuai dengan warna kesukaan senior. Aduhay, masa yang paling berat ini harus aku lalui selama tiga hari. Begitu menyakitkan. Tapi beruntunglah aku tak sempat mencicipi permen relaxa yang telah dioper dari mulut ke mulut lain.
Nampaknya senior-senior itu tak cukup pandai mengelola jabatan mereka. Ingin sekali aku melemparkan atribut ini di depan mata kepala mereka. Tapi apalah daya ini, aku seorang diri. Ingatlah saja ketika aku cukup kuat untuk berbicara, ketika kata-kataku kaudengarkan dan tak bisa kaubantahkan dengan argumen mlempem. Aku akan menjadi orang pertama yang merubah perploncoan ini dengan tanganku. Ingat saja itu, seruku sebal dalam hati.
Hari pertama terasa berat. Aku harus meminum dot bayi yang telah berisi susu kecap manis. Ya. Benar-benar susu kecap manis, perpaduan antara susu krim empat sendok makan dan kecap manis empat sendok makan. Itulah peraturan pertama yang harus aku ikuti selama MOS. Tega sekali. Tega! Tak habis pikir ketika memikirkan kenapa peraturan konyol itu tidak diprotes oleh guru seorang pun. Sungguh tega!
Masih teringat dengan teman SMP yang juga diterima di Madrasah Aliyah ini, Iga. Ia harus beristirahat panjang di ruang UKS setelah insiden meminum dot bayi yang berisi susu kecap manis tadi. Tidak lama setelah senior memaksa meneguk minuman asem itu, Iga mengeluarkan semua sarapan paginya lengkap dengan teh hangat yang bercampur aduk bersama cairan lambungnya. Mengerikan. Kali ini tak perlu dibayangkan.
Dan bagaimanakah nasibku?
Beruntunglah, aku masih bisa membujuk sarapanku agar lebih kerasan tetap tinggal di dalam perut. Semangkuk gulai nangka dan tiga tempe bacem yang sudah disediakan ibu, begitu lahapnya termakan tadi pagi. Tidak tega jika aku harus mengeluarkannya lagi hanya karena satu tegukan susu kecap manis. Ibarat peribahasa, karena seteguk susu kecap manis, muntah gulai nangka semangkuk utuh.
Aku tidak bisa sekonyong-konyong memprotes peraturan itu. Maka dengan segenap akal sehat, yang mungkin belum dimiliki senior-senior itu, aku harus merubahnya dengan kaki tanganku sendiri. Syukurlah, selama MOS hari pertama aku belum mendapatkan jatah hukuman dari para senior. Aku selamat dari pantauan panitia MOS yang begitu 'belagu'.
Hari pertama, begitu lambat berlalu. Hari kedua, masih lambat juga berlalu. Jam demi jam kulewati penuh harap. Menu spesial di hari kedua adalah minuman empat warna. Apapun itu, peserta MOS diwajibkan membawa minuman empat warna. Hari ketiga yang begitu menyengsarakan. Menu spesial untuk kelulusan MOS, yaitu jamu temu ireng.
Naas. Di hari-hari terakhir, aku pikir dapat mulus begitu saja melaluinya. Setelah dua hari terbebas dari jerat hukuman, karena memang aku begitu rajinnya mempersiapkan semua atribut. Bukan karena takut, hanya malas saja mendengarkan celotehan senior sok disiplin itu, makanya aku selalu mengikuti aturan main. Sengaja betul senior mencari-cari kesalahan murid baru.
Alhasil, kenalah aku . Alasan yang tidak masuk akal, mereka begitu memaksakan kesalahan yang tidak semestinya. Senior yang tidak mendapatkan mata kuliah kedewasaan nampaknya. Oh iya, kan mereka belum kuliah. Tambah lagi, mereka belum dewasa. Belum! Senior yang seperti itu aku jamin dengan seluruh tabunganku, mereka sangat kekanak-kanakan! Memikirkan balas dendam. Ya! Hanya balas dendam, sebisa mungkin mengerjai adik-adik tingkat hanya untuk melampiaskan dendam mereka semasa MOS dulu. Benar-benar tidak berprikesiswaan! Kalaulah mereka dewasa, tentu tidak akan terpikir seperti itu. Dan kalau memang dendam kesumat itu harus dilampiaskan, maka adik-adik tak bersalah itu tidak bisa dijadikan tumbal! Balas kepada mereka yang telah mengerjai (kakak tingkat dulu). Astaga, aku sampai naik pitam hanya karena memikirkannya saja.
Seorang senior menghampiriku, laki-laki. Mata sok hebatnya tak lelah mengarah kepadaku.
"Hey, kamu. Siapa nama kakak itu?" Pertanyaan yang menjurus padaku. Siang itu tak ada setitik pun awan yang berkeliaran, langit pun seperti sengaja betul membiarkan suasana panas ini menyengat.
"Tidak tahu Kak, maaf." Aku menunduk.
"Kau ini bagaimana? Masa dengan kakaknya sendiri tidak kenal. Sekarang kamu dapat hukuman." Senior itu menertawakan hal yang tak lucu. Sama sekali tidak lucu. Apanya yang lucu?
Aku menelan ludah. Cukup sudah.
"Kok dihukum Kak? Kalau saya harus menghafal satu per satu butuh waktu lebih dari tiga hari Kak." Aku menantang, siap adu nalar. Tapi aku tak ingat, hey, ini bukan debat nalar, ini acara otoritas senior. Tak butuh pembelaan apalagi nalar yang logis.
Singkat cerita, aku harus menghitung luas lapangan bola basket milik sekolah. Astaga, ini bukan lapangan bola basket, ini lapangan upacara! Ya, baru dua hari kemarin aku mengikuti upacara pembukaan MOS ini yang secara langsung dibuka oleh kepala sekolah. Berapa luasnya kira-kira? Bisa dibayangkan sendiri. Tetapi senior itu tak puas jika aku hanya membayangkan luasnya saja. Aku harus mengukurnya dengan tanganku sendiri. Benar-benar dengan tangan!
Senior itu memerintahkan dengan semena-mena, "Kau, hitung berapa jengkal keliling lapangan basket itu. Ingat, gunakan jengkal tanganmu!" kata senior ketus.
Di saat yang melelahkan seperti itu, aku ditemani oleh seorang murid baru juga. Mengenakan atribut yang sama denganku, tetapi baru pertama kalinya kami bertatapan. Dia berasal dari kelas yang sama denganku, sepuluh satu. Terlihat begitu aktif, sering bertanya dan menjawab jika diperkenankan. Nampaknya, ia begitu bersemangat dalam hal memimpin. Secara sukarela, ia menawarkan diri sebagai kepala desa. Aku tidak begitu paham dengannya. Tapi beberapa bulan selanjutnya, dialah yang menjadi saingan terberatku. Bukan dalam hal prestasi. Tetapi dalam hal sebutan nama. Dia yang begitu tegas, aku menjulukinya Jan si ketua kelas.
“Namamu juga Jan?” Kami tertawa bersama. Membuat gerombolan senior menoleh kepada kami. Dengan berteman Jan, terik panas, kami melanjutkan mengukur keliling lapangan upacara. Berapa jengkal?
Tiga hari terlewati, sah sudah aku memasuki kelas baru, keluarga baru. Aku masih ingat, satu persatu teman-teman baru mengisi ruang di dalam kehidupan sekolah. Mulai dari Jan si kepala desa yang berlanjut jabatannya menjadi ketua kelas, hey, dia mentraktirku makan setelah selesai mengukur keliling lapangan upacara. Kami tertawa lepas mengingat hitungan kami selisih lima ratus jengkal. Pastilah salah satu di antara kami asal mencomot angka.
Teman kedua, Jan Bastian, dia bukan aktor, sama sekali tak dapat berbohong ataupun bermain peran. Polos sepolos mottonya, “Maju terus pantang mundur”. Nurul, gadis yang menghalangi pandanganku dari melirik gadis paling sudut. Tak boleh tertinggal, seseorang yang bakal menjadi sejarah besar dalam hidupku. Ia yang sangat hobi dalam membaca, ditemani kacamata minus yang belum terlalu parah, bukan kacamata untuk gaya-gaya. Jilbabnya yang terlihat gagah, syar'i dengan tidak banyak variasi. Gigi gingsulnya yang terlihat sesekali ketika tak kuasa menahan tawa. Astaga, ini berlebihan sekali. Tak banyak yang boleh disampaikan untuk teman yang satu ini, kecuali bahwa dia benar-benar terjaga. Dia dia dia. Dia yang pada akhirnya akan kupanggil, "Nifa".
***
Hari sudah hampir maghrib. Tidak ada waktu untuk mengejar Nifa, kalaupun tersusul, aku pasti meninggalkan maghrib. Itupun kalau tersusul. Masalahnya aku tak tahu harus menyusul ke arah mana.
Aku hanya duduk di teras Masjid Universitas. Menyimak suasana sore yang mulai menyusup ke peraduan. Menurunkan kegelapan dari setiap sudut pengelihatan. Menyingsingkan terang, menyelimuti kegelapan. Aku menghela nafas sejenak. Menggenggam kontak motor dengan gantungan bertulisan.
Tiba-tiba, handphone yang belum jadi kulemparkan karena kesal, kini berdering sekali lagi. Muncul Owl City dengan dendang kerinduannya "Vanilla Twilight". Sebuah nada dering untuk memperingati ada pesan masuk. Nomor tanpa nama, mengirim pesan! Demi melihat isi pesan penuh makna itu, aku meloncat kegirangan.

BERSAMBUNG

Episode Selanjutnya...

Episode selanjutnya akan tayang lagi di hari Rabu ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar