HOS’CORTA
Cerbung ditulis oleh : Dwi Cahyo Yulianto
BAGIAN SATU
Antrian Kelima Belas, Suatu Sore
* * *
Sore ini mendadak ada keperluan membeli tali karet ban. Pengalaman terbaru selama lebih dari tiga tahun tinggal di kota kecil ini. Meskipun pengalaman yang jauh dari kesan “wah”, namun tetap saja aku belum pernah melakukannya. Sama seperti ketika kita baru pertama kali menggunakan aksesori “Snipping Tool” dari komputer padahal sudah bertahun-tahun membelinya. Atau bahkan sampai sekarang pun belum tahu apa itu “Snipping tool”?
Keperluan sepele, tapi tetap saja memerlukan transportasi yang memadai. Bisa saja membeli tali karet ban di warung-warung dekat kampus. Tapi suasana senggang ini juga ingin kunikmati dengan pemandangan pantai, berbekal sepeda motor pinjaman.
Kebanyakan dari teman yang memiliki sepeda motor cukup percaya dalam hal pinjam meminjam. Ikatan hati di antara sesama teman tak memberikan kesempatan bagi prasangka buruk untuk singgah, walaupun sekedar untuk membisikkan, “Bagaimana kalau dia berniat mencuri sepeda motormu?”. Tidak pernah terpikir seburuk itu, aku yakin sekali. Dengan berharap keyakinan tersebut belum berubah, kuberanikan meminjam salah satu sepeda motor yang terparkir di dekat gedung sekretariat.
Sebelumnya perkenalkan, namaku Jan, biasa dipanggil Jan. Beruntung tak banyak yang menyandang nama tersebut di kampus. Karena meskipun namaku lumayan tak lazim, anehnya ketika masih Madrasah Aliyah dulu setidaknya ada tiga anak yang juga dipanggil Jan. Lebih aneh lagi karena ketiga-tiganya berada dalam satu kelas yang sama.
Masih teringat jelas ketika wali kelas membagi-bagi jatah panggilan untuk kami bertiga (aku, Jan si ketua kelas, dan Jan Bastian yang sama-sama dipanggil Jan). Suatu ketika Ibu Wali memanggil Jan (yang dimaksud aku), dan serempak Jan si ketua kelas dan Jan Bastian menjawab lantang. Tentu mengejutkan berbagai pihak. Sekilas terdengar lucu, aneh, unik, atau menyebalkan. Sayangnya dalam kasus ini, kesan yang ditangkap Bu Wali justru menyebalkan. Maka dari situlah Bu Wali berinisiatif membagi panggilan kami menjadi sedikit berbeda. Syukurlah yang bertahan untuk menyandang panggilan Jan adalah diriku. Jan.
“Tapi motornya dalam kondisi berbahaya Jan,” kata Bang Gatra seraya meminjamkan kontak motornya. Memasang senyum yang tak cukup sulit untuk diartikan.
“Ya Bang, saya isikan bensinnya,” kataku menjawab senyuman palsu Bang Gatra. Bisa kutebak, senyuman Bang Gatra pasti berubah menjadi asli.
Berkilo-kilo sudah kususuri pinggiran pantai. Matahari pun mulai beranjak turun ke pangkuan laut. Barulah kusadari, tak mungkin ada toko di pinggiran pantai seperti ini. Akhirnya, berbalik arah menuju kampus untuk mencari keperluan awal. Pastilah kalau ada Nurul di sini, ia akan mengatakan “Dasar!”. Entahlah. Tiba-tiba saja teringat nama itu, membuat memoriku terbang ke masa lalu, bertahun-tahun silam.
Urusanku sederhana. Membeli tali saja, tapi lamanya yang tak berkira. Maklum, lama dibuat bukan untuk kepentingan beli membeli, justru menyusuri pantai. Setelah hati terpuaskan oleh keindahan alam, keperluan pun tertunaikan, bahkan hanya dengan membelinya di toko dekat kampus. Tibalah saatnya menunaikan kewajiban mengganti bensin yang telah terpakai untuk perjalanan panjang mencari tali karet ban.
Sesampainya di pintu masuk SPBU, hanya antrian yang kudapati. Berjajar empat berbanjar kendaraan roda dua. Dengan wajah lelah, petugas SPBU melanjutkan pekerjaan. Ia nampak menggenggam segepok uang pecahan, mulai dari warna merah muda, biru, hijau, sampai yang bergambar Pahlawan Pattimura. Tidak cukup sulit memperhatikan itu, meski aku berada di sekitar lima belasan motor paling belakang – masih ada empat belas sepeda motor yang mengantri di depan. Padahal, banjar yang kupilih adalah banjar terpendek menurut perkiraan.
Tak perlu menunggu lama, mesin motor kumatikan. Sepersekian detik setelahnya, sebuah sepeda motor berjenis matic berhenti tepat di banjar sebelah kanan. Kami tidak sejajar, ban depan sepeda motor Bang Gatra yang sedang kutunggangi ini jelaslah sedikit lebih unggul berkat pemilihan banjar terpendek. Ada kalanya ban depan milik matic sedikit mendekatiku, tapi tidak lama banjar kami menyelesaikan satu kendaraan, maka aku meninggalkannya kembali sekitar setengah meter. Siklus macam ini selalu terjadi meski tak banyak yang memperhatikan.
Aroma antrian tak pernah menyedapkan bagiku. Tak ada keinginan di antrian SPBU ini, selain untuk segera mengakhirinya dengan cepat. Satu menit berlalu, kejemuan mulai menghampiri. Kejemuan itulah yang mengantarkan pandanganku berkeliaran menyusuri aktivitas SPBU. Bapak-bapak yang memboncengi istrinya mengantri tepat di depanku. Berjarak dua jengkal di depannya terlihat seorang mahasiswa dengan jaket Himpunan Mahasiswa berwarna merah marun, tertulis semboyan yang menggebu-gebu. Entahlah. Sesuai dengan pemiliknya atau tidak. Biasanya semboyan yang menggebu tentang semangat, perjuangan, dan harapan itu hanya tersampir di dinding kamar mandi, pemiliknya masih tengkurap bangun kesiangan.
Beranjak ke banjar selanjutnya, di sebelah kananku ada seorang anak-anak yang mengenakan kaos Barcellona FC. Nomor punggung 30, entahlah siapa itu. Pandanganku berhenti setelahnya. Sejenak langit-langitku dipenuhi asap putih menyebalkan, melihat siapa seseorang yang mengantri di belakang bocah Barcellona tadi. Seseorang dengan motor jenis matic, tepat di sebelah kananku sedang ikut mengantri. Kalaulah banjar di antrianku maju, maka seseorang ini tertinggal setengah meter dariku. Namun tak lama setelah itu, giliran banjar mereka yang menyelesaikan satu antrian, sehingga seseorang di samping kananku, balik menyusul setengah meter.
Seseorang dengan jilbab besarnya yang biru muda, sarung tangan bercorak tiga warna, dan kaca mata minusnya. Seketika aku mengalihkan pandangan, kembali menatap bapak-bapak yang membonceng istrinya di depanku.
Hati ini tak pernah begitu meriah seperti saat ini. Syaraf sensorik mata mengantarkan impuls dengan resolusi paling tinggi. Sekujur tubuhku tak mampu digerakkan. Semua persendian menjadi berdecit. Terasa kaku. Setiap kali ada pergerakkan, seolah seluruh dunia sedang menatapku. Situasi macam ini memaksaku untuk bergerak sesempurna mungkin untuk menghadirkan kesan semenawan mungkin. Oh Tuhan, apa yang terjadi padaku kali ini?
BAGIAN DUA
Tertinggal Setengah Meter
* * *
Antrian semakin berkurang. Semula ketika aku datang, berbaris panjang sekitar lima belasan sepeda motor di depan. Tak terasa, kini tinggal sedikit. Sungguh disayangkan, padahal jarang-jarang aku bisa menemukan momen tak terduga seperti ini. Di sampingku masih setia gadis dengan kendaraannya, tertinggal setengah meter dariku. Tapi aku masih belum yakin dengan sosok perempuan ini.Sejak pertama kali aku menyadari kehadirannya, tingkah laku ini semakin tak dapat dikendalikan. Selalu berniat serius untuk mengontrol perbuatan, tapi yang ada justru semakin terjatuh dalam jurang kesalahtingkahan.
Setiap kali aku mencoba melihat ke arahnya, tak pernah sekalipun dia mengarahkan pandangan padaku. Ia masih tertinggal setengah meter dariku. Entahlah. Mungkin kebetulan saja dia tidak melihat. Atau memang tidak akan pernah mau melihatku? Astaga, pikiran ini semakin kubuat menjadi kacau.
Haruskah ini berakhir begitu saja?
Antrian motor semakin habis, ia masih tertinggal setengah meter. Meski kadang jarak kami semakin dekat, karena banjar antrian miliknya menyelesaikan satu orang, tetap saja akan tertinggal setengah meter karena banjar antrianku juga menyelesaikan satu kendaraan setelahnya. Sejauh ini tak ada yang bisa aku lakukan selain mencuri-curi arah pandangan, seolah-olah memperhatikan sibuknya aktivitas di SPBU. Padahal, hanya ingin memastikan apakah aku mendapatkan perhatian darinya. Ternyata nihil, tak satu kali pun ia menatap ke arahku. Yang aku dapati hanya wajah lelah terbungkus jilbab biru muda yang tak ingin terlalu lama lagi mengantri.
Untuk kesekian kali, aku mendorong motor ini menuju petugas SPBU. Tersisa lima motor lagi di depan. Waktuku semakin habis. Sempat terpikir untuk menyerah. Memasrahkan semuanya pada Allah saja. Tapi hati kecil ini tak lagi dapat tertipu. Aku masih ingin melihatnya. Sungguh. Setidaknya untuk memastikan, bahwa ia benar-benar menyadari kehadiranku di SPBU ini. Tapi nampaknya itu sia-sia. Beberapa kali aku melirik dan menyapu pandangan ke arahnya, namun tak ada balasan tatapan. Wajahnya hanya menunduk, sayu dalam keteguhan. Tegar dalam keyakinan. Gagah dalam keanggunan. Begitu keras ia memperjuangkan pendiriannya. Fase injury time segera berakhir, kesempatan semakin menipis.
Meskipun sempat terlintas rasa kecewa, tetapi pertemuan ini sudahlah lebih dari cukup. Allah mempunyai garis takdir yang luar biasa indah untuk diterjemahkan. Tanpa ada satu patah kata yang terucap, pertemuan ini sungguh telah memberikan momen yang spesial.
Antrian motor tinggal satu, yaitu bapak-bapak yang memboncengi istrinya. Sang istri tak perlu turun dari motor, sebab tangki bahan bakar sepeda motor milik bapak itu terpasang di depan.
Menyadari waktu antrian yang kian habis, maka tibalah saatnya aku turun dari motor Bang Gatra untuk membuka jok. Sekarang aku berdiri tepat menghadap ke motor matic perempuan itu. Meski tak secara langsung memandang, aku masih saja bisa melihat dirinya ikut turun dari motor, membuka jok matic.
Aku menghela nafas untuk sejenak. Berusaha menikmati takdir Allah yang luar biasa ini. Skenario apapun yang telah Allah rencanakan, memang menakjubkan. Tak tahu apa jadinya jika aku datang ke SPBU terlalu cepat, mungkin aku sudah selesai terlebih dahulu sebelum gadis itu datang. Sebaliknya, jika aku terlalu lama berjalan-jalan sore, pastilah aku tak akan menjumpainya.
“Berapa Mas?” tanya petugas SPBU kepadaku.
“Satu liter saja Mbak,” jawabku sedikit kencang untuk mengalahkan suara bising kendaraan yang lalu lalang di sekitaran SPBU. Mungkin inilah akhirnya, harus kuakhiri. Berharap sesuatu yang belum layak untuk diharapkan hanya akan menghadirkan kekecewaan.
Mendengar jawabanku yang lumayan lantang, mbak-mbak petugas SPBU pun memencet tombol dibagian mesin untuk mengatur jumlah liter bensin yang dikeluarkan. Dengan sigap, ia menyalurkan bensin sesuai dengan jatah pesananku.
Namun sesuatu yang lain terjadi kala itu. Ternyata suaraku yang lantang menjawab jumlah bensin tidak hanya terdengar oleh mbak petugas SPBU. Gelombang longitudinal yang bersumber dari pita suaraku itu merambat cepat menembus jilbab biru muda milik perempuan dengan matic. Dalam waktu singkat, gendang telinganya mengirim impuls menuju pusat sensorik dan diterjemahkan sebagai suara yang tak asing.
Satu liter penuh sudah motor Bang Gatra diisi bensin. Seusai membayarnya dalam jumlah yang berlebih, mbak-mbak SPBU memberikan kembalian lima ratus rupiah. Tak ingin berlama-lama lagi, aku segera menutup tangki motor dan mengunci jok seperti semula. Di detik itulah, aku mendengarkannya. Telingaku tak salah menangkap gelombang suara yang ada. Dengan nada-nada bicara yang sudah pernah terekam sebelumnya, bertahun-tahun yang lalu. Akhirnya, aku mendengarnya kembali. Suara yang telah lama tak aku dengarkan.
“Jan?” Gadis berkerudung biru muda memanggilku. Ya, sungguh itu panggilanku. Panggilannya melayang dari sepeda motor matic yang sedang dibuka joknya.
BERSAMBUNG
Episode Selanjutnya...
CATATAN:
1. Cerbung akan dirilis setiap Rabu-Kamis & Minggu. Jadi seminggu tayangnya 3x sehari.
2. Cerbung ditulis oleh Dwi Cahyo Yulianto.
3. Hos’Corta bercerita tentang pasangan yang berpacaran, namun dari sisi yang berbeda. Awalnya berjudul Cintaku Berakhir di SPBU, namun kak Dwi menggantinya menjadi Hos’Corta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar