Rabu, 22 Juni 2016

[Cerbung] DIA (Serial Cinta) - Episode 5-6




BAGIAN LIMA

Cinta Kedua

* * *

Namaku Surya. Aku perlu memperkenalkan diri lagi hari ini. Sebab ada yang istimewa. Sangat istimewa.
.
Jangan dikira ini Hari Rabu ya. Ini Kamis. Tapi bukan dua hari setelah selasa penuh senyum itu. Lebih tepatnya, dua tahun setelahnya. Kamis, di kelas tiga. Ratusan hari setelah proklamasi kemerdekaan cinta. Antara aku dan Ditta. Ya, meskipun kami tidak pernah menyampaikannya secara langsung, tertulis, dan tertanda tangan di atas materai, seisi kelas sudah menjodoh-jodohkan kami saja. Ck..ck..ck.., aku sih oke aja. Haha. Beruntungnya, si Ditta juga tidak keberatan. Yes! Resmi sudah, kejadian perebutan tempat duduk paling belakang itu menjadi pengesahan secara de facto akan kisah kami selanjutnya. Ditta memang merebut tempat Aji, teman semejaku dua bulan ini. Yang punya bangku sih, telat, udah keduluan orang. Begitu alasan Ditta, mengada-ada.
.
Eh, iya. Itu kan dulu, dua tahun yang lalu. Sekarang, kami jauh lebih tenang. Mungkin monyet-monyet ini sudah belajar untuk bersikap elegan.
.
Apakah kami berpacaran? Entahlah. Semua teman menganggapnya demikian. Tapi baik aku atau Ditta tidak pernah menganggapnya serius. Kami hanya bersikap seperti biasa, menjalani hari-hari dengan normal, dan sesekali bercanda, mengerjai satu sama lain. Anak-anak, you know lah.
.
Oh iya, sudah kubilang kan, hari ini spesial. Bukan hanya karena hari ini aku bisa bertemu Ditta kembali. Sudah empat hari kami tidak bertemu. Long weekend. Senin dan selasa libur nasional. Rabu guru-guru rapat MKKB (Masa Kecil Kurang ... ), eeeh, salah! MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah). Hyuhh. Untung saja.
.
Setelah libur berkepanjangan, akhirnya, kami dipertemukan kembali. Dan kami bisa hidup bahagia selama-lamanya. TAMAT.
.
Buseet, apaan? Stop! Stop bercanda. Maklum, sepagi ini pikiranku dihantui sesosok perempuan berkacamata dari ruangan kantor. Uhm. Seragam batiknya berbeda. Bukan dari kabupaten ini. Aku setidaknya sudah menghafal banyak corak batik dari sekolah-sekolah tetangga. Tidak ada yang berwarna merah. Biru, biru, biru, dan hijau. Dia siapa? Ah iya, dari sekolah mana? Ada urusan apa? Nomor h...
..
"Tok! Tok!" kata Aji, teman semejaku mengusir lamunan. Tangannya mengetuk meja memang, tapi tidak keras. Ia sengaja mengeraskannya dengan suara langsung, "Tok! Tok!"
.
"Woi, mikirin apa woi?"tanya Aji sembari meletakkan ransel di laci.
.
Aku mendengus sebal. Datang-datang mengagetkan saja anak ini. Untung aku tidak reflek memukul tadi.
.
"Kau lewat pinggir kantor tadi Ji?" Aku balik bertanya.
.
Yang ditanya hanya mengangguk.
.
Ia mengarahkan pandangannya padaku. Tersenyum aneh, seolah tahu maksud pertanyaanku. Dengan nada yang rendah, ia seperti akan membisikkan sesuatu. Memakai telapak tangannya untuk membuat corong suara. Lantas berkata, "Cantik Bro!"
.
Aku nyaris tersedak angin, tertawa keci, dan menepok jidat. Anak ini!
.
"Namanya..."
.
"Mutiara." Tiba-tiba suara lain menjawab. Seorang perempuan yang tidak asing lagi. Aku kaget, lantes menyapukan pandangan, mencari sumber suara. Tapi tidak ada anak perempuan di kelas. Siapa yang menjawab?
.
Tiba-tiba, raut wajah Aji berubah. Pucat. Jari telunjuknya berusaha menginformasikan sesuatu kepadaku. Dari arah jendela, mungkin begitulah artinya.
.
Deg.
Aku menelan ludah. Memutar perlahan-lahan sendi putar di kepala. Mencari sesuatu yang telah menjadi sumber suara. Dan, itu dia!
.
"Eh, Ditta! Lama tidak bertemu." Aku tertawa kecil, sedikit salah tingkah. "Masuk aja, nggak dikunci kok pintunya."
.
Astaga. Dia tidak memberikan senyuman apapun. Menatap datar ke arah kami berdua. Jendela kelas memang terbuka, memudahkan pergantian udara. Tapi biasa juga digunakan untuk anak-anak meminjam buku jika sudah ada guru, atau menyelinapkan tas bagi mereka yang terlambat.
.
"Nama lengkapnya Mutiara Citra Kirana," Ditta lantas beranjak pergi, memasuki kelas dari jalur yang sebenarnya. Ia duduk di bangku terdepan. Di sudut terjauh. Kami memang sudah tidak duduk bersama lagi sejak kelas satu. Tapi kali ini, sepertinya ada maksud tertentu dari caranya mengambil tempat duduk. Kecemburuan mungkin? Ah, hanya perasaan saja.
.
Tiba-tiba Aji tertawa kecil. Hanya terdengar oleh telinga dari radius dua meter saja. Ditta yang berada enam meter di sudut depan mungkin tidak mendengar. Hanya bisa menafsirkan ekspresi Aji sebagai tawa.
.
"Eh, kenapa tertawa? Gara-gara kamu ini, jadi salah sangka dia."
"Bukan. Bukan itu."
"Terus?"
Aji mengatur nafas sejenak. Berusaha menjelaskan di sela-sela gelak tawanya.
"Mutiara... Citra... Kirana..."
.
"Kenapa?"tanyaku belum paham.
.
"Jangan disingkat." Aji kembali tertawa kecil. Cekikikan, sambil menutup mulut dan sebagian hidungnya.
.
Aku berpikir sejenak. Mutiara Citra Kirana. Nama yang bagus. Tapi, kenapa tidak boleh disingkat? Apakah maksudnya, M...C...
.
"Pffftt!" aku menahan tawa sebisa mungkin. Sudah sejak kecil ibu melarang mengejek nama seseorang. Nama itu doa, kata ibu. Jadi usahakan jangan meledeknya. Tapi entahlah, mungkin karena efek tawa dari Aji, aku jadi tidak tahan juga. Sebisa mungkin, aku berusaha menahan tawa, semampuku. Tapi dari ekspresi kami, siapapun tetap tahu kalau ini tertawa. Menertawakan sesuatu yang lucu. Tapi pertanyaannya, apa yang lucu?
.
Benar. Itulah pertanyaan yang harus kami jawab. Seseorang, masih dari arah jendela, meluncurkan pertanyaan itu.
"Apanya yang lucu?"
.
Suara seorang perempuan yang masih asing. Menanyakan sesuatu yang segera akan membuat kami mati kutu.
.
"Kenapa diam saja? Apanya yang lucu?"
.
Perempuan itu mengulangi pertanyaannya. Aji yang dengan bebas bisa melihat sosok di jendela segera diam. Tawanya tersumpal rapat-rapat. Mukanya kembali pucat.
.
Aku berusaha sekuat hati menengok. Memastikan siapa yang baru saja bertanya dari jendela.
.
Perlahan, perlahan, dan yak! Tidak ada siapa-siapa. Aku memastikan kembali, menengok ke arah jendela, tidak ada seorang pun.
.
Hyuh... Hampir saja. Aku kembali ke arah Aji, dia justru sedang meletakkan kepalanya di meja. "Mati... Mati..."
.
"Kenapa? Tidak ada orang."
.
Dengan ekspresi paling memelasnya, Aji memainkan kembali telunjuk.
.
"Dia masuk ke kelas," kata Aji dengan suara bergetar.
.
Glek.
Kami satu kelas?

BAGIAN ENAM

Murid Baru

* * *

Mutiara, Citra, atau Kirana?
Mana yang cocok untuk panggilan perempuan berkacamata itu?
Kalau menurutku, ketiganya, digabungkan jadi satu. Bukan, bukan disingkat. Jangan bercanda di masa-masa genting seperti sekarang ini. Maksudku, perempuan ini ibarat memiliki kecantikan dari tiga orang sekaligus, dicampurkan menjadi satu. Kau punya teman bernama Mutiara, Citra, dan Kirana. Semua kelembutan seorang perempuan, keindahan mutiara, citra yang mempesona, dan cerah secerah kirana. Ketiganya menjadi satu bernama Mutiara Citra Kirana. Ah, apalah aku ini. Seharusnya aku sedang dirundung penyesalan, telah menertawakan nama seindah itu. Seharusnya aku sedang marah, mengutuki diri. Tapi kini, ada perasaan lain yang muncul, berkecambah, dan menyeruak penuh di satu ruang dalam hati. Perasaan itu bahkan berbunga, merekah, menantikan serbuk dari perantara kumbang-kumbang asmara. Menanti waktu yang tepat, kesempatan yang bulat, dan menunggunya berbuah. Wait, wait! Apakah perasaan ini benar akan berbuah? Aku lebih pesimis kali ini. Kesalahan fatal pertama tentang nama bisa saja membuat bungaku layu sebelum berkembang. Gugur sebelum berbuah. Mati sebelum bercabang. 
.
"Apa yang lucu?"tanya Mutiara. Ia sudah duduk di bangku depanku. Menatap kami bergantian. Dia sedang tidak menunggu jawaban. Karena jelas tidak ada jawabannya. Mana mungkin aku jawab jujur, sementara pemiliknya sedang di hadapan mata. Mana pula aku harus jawab tidak ada yang lucu, sementara kami sudah telanjur tertawa. Dia tidak menunggu jawaban. Dia menunggu permintaan maaf. 
.
Di saat seperti ini, aku sangat menyarankan kalian untuk berterus terang. Serius! Jangan membuat runyam urusan dengan perempuan, jika tidak ingin menanam benih masalah. Tapi hei, aku justru tidak mengindahkannya sendiri.
.
"Tidak ada." kataku tegas. Ehm, pura-pura tegas. Dalam hati dag dig dug setengah hidup.
.
"Kenapa kalian tertawa?"
.
"Apa perlunya kami beritahukan kepada anak sekolah,..." aku memeriksa badge di seragamnya, "Tanjung Karang?"
.
Mutiara menatapku, sedikit kesal. Dahinya berkerut, lantas mendengus sebal. Ia pergi dari bangku kami, dan memilih tempat duduk lain. What? Memilih tempat duduk lain? Dia serius akan belajar di sini? Akan bersekolah di sini? Yeey! Sorak senang dari setengah hatiku. Yang setengahnya lagi masih tertuju pada perempuan dengan senyum termanis yang pernah kulihat di sudut kelas. Oh tidak. Hari ini dia tidak memasang senyuman itu. Dia sama sekali tidak tersenyum. Ditta? 
.
***
.
Bu Muji, Guru Sejarah kami memperkenalkan murid baru itu. Namanya benar, Mutiara Citra Kirana. Entahlah, aku senang sekali mengulang-ulanginya. Tapi dia cukup dipanggil Mutia. Pindahan dari ibukota provinsi. Kenapa? Belum tahu. Alasan kepindahan ini tidak perlu dirisaukan lah. Karena sekarang yang jauh lebih penting untuk dirisaukan adalah, dia duduk di sebelah Ditta. Membuat urusan ini semakin.. semakin saja.
.
Apakah ini cinta? Cinta pada pandangan pertama? Tenang saja. Aku belum memberi klaim apapun. Tapi jika benar, jika aku benar-benar sudah jatuh cinta dengan perempuan itu, kau sudah tahu jawabannya bukan? Sebenci apapun dia, sesebal apapun pagi ini, tidak masalah. Karena jika aku sudah cinta, kau tahu apa jawabannya.

BERSAMBUNG




Tidak ada komentar:

Posting Komentar