Rabu, 22 Juni 2016

[Cerbung] DIA (Serial Cinta) - Episode 1-4



DIA (Serial Cinta)

Cerbung ditulis oleh : Dwi Cahyo Yulianto

BAGIAN SATU

Dia dan Sebuah Rahasia

* * *
Bukankah menarik jika kita membincangkan tentang “dia”? Seseorang yang menjadi alasan atas senyuman nan terkembang. Yang menempati sebagian ruang di hati, merangkai harapan sejuta mimpi. Dia yang akan membawa pergi sekeping hati, saat hadirnya tak lagi di sisi. Kau pasti punya seseorang seperti itu. Pun sama denganku. Lantas, karena begitu yakinnya kita dengan kisah unik, romantik, dan klasik antara kita dan “dia”, seringkali membuat lupa. Bahwa tidak selamanya kisah itu menarik untuk orang lain. Boleh jadi kita merasakan sensasi perasaan yang berbunga-bunga, tapi bagi orang lain? Ah, biasa saja.
Jadi sampai batas mana kita tahu, kalau kisah kita dengan “dia” menjadi layak untuk diceritakan? Lebih-lebih lagi, untuk memotivasi?
Entahlah. Aku tidak punya ide tentang hal itu. Tapi, aku punya kisah yang ingin kuceritakan. Tentu saja, masih tentang “dia”. Dan kau tahu, kisah ini mungkin tidak menarik bagi sebagian orang. Juga tidak bisa memotivasi banyak pembaca. Tidak apa. Hanya saja, kisah ini, tentangku dan “dia”, membawakan satu rahasia. 
***
Cintaku Belum Pernah Bertepuk Sebelah Tangan
***
Kisah cinta telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Mulai dari balada tentara pejuang, sampai kisah Romeo Juliet di belahan bumi seberang. Sejak zaman Siti Nurbaya, sampai romantika Galih dan Ratna. Tentu, dari jutaan kisah yang ada, satu dua punya kesamaan cerita. Ada yang sama-sama cinta di pandangan yang pertama. Ada juga yang sama-sama patah hati karena cinta terbagi dua. Kalian mungkin tidak akan membantah, jika salah satu dari jutaan problema cinta itu adalah: bertepuk sebelah tangan.
Ya? Atau ya?
Bagaimana rasanya? Menyakitkan, atau memilukan? Meremukkan hati dan segumpal asa? Karena cinta yang tertunda?
Aku tidak pernah tahu jawabannya. Ya. Karena, sstt... Ini rahasia pertamaku tentang cinta: Aku tidak pernah bertepuk sebelah tangan.
Percaya atau tidak, sejak pertama kali perasaan itu muncul, maka selalu berbalas. Jika kutanyakan perasaan pada orang yang tercinta, maka pasti kuterima jawaban, ya!
Jika saja ini bukan dunia nyata , maka aku sudah menyebutnya sebagai “kemampuan”. Persis seperti “ kemampuan” Ueki dalam merubah sampah menjadi pohon , atau Lelouch dalam mengendalikan seseorang. Sama juga seperti kemampuan klan Hyuga dalam menggunakan Byakugan, atau kemampuan para Uzumaki untuk menyegel Jincuriki. Maka “kemampuan” ku adalah menjadikan cinta bertepuk kedua belah tangan. What? Kemampuan macam apa itu? Entahlah.
Nah, kali ini baru bisa kalian bertanya: bagaimanakah rasanya?
Menyenangkan? Membahagiakan? Membuat segala urusan cinta menjadi semudah membalik telapak tangan? 
Aku tahu jawaban dari pertanyaan itu. Sungguh. Tidak sedikit pun ragu, karena hampir di setiap malamku selama belasan tahun terakhir, aku merasakannya sendirian. 
Apakah betul, tidak pernah bertepuk sebelah tangan itu menyenangkan?
Itu menjadi rahasiaku yang terakhir. Dan semoga akan membantu kalian yang sedang dirundung kepiluan. Pilu karena cinta yang tak berbalas. Patah hati karena cinta tak sejalan sesuai angan-angan. 
Ah iya. Jawaban dari pertanyaan itu baru kutahu, setelah bertemu dengan “dia”. 
***
BAGIAN DUA
Cinta Pertama

* * *

Kenalkan, namaku Surya. Murid kelas satu SMA yang lama mengenal cinta. Tapi, dari jutaan remaja lain yang juga sama-sama dirundung asmara, apa menariknya kisah ini kuceritakan pada dunia? Toh di saat yang sama, jutaan cerita cinta lain sedang dimainkan, diputar, atau dibaca. Sekali lagi, apa menariknya?
.
Entahlah. Namaku Surya, dan tidak tertarik untuk menjadi ketertarikan banyak orang. Risih menjadi perhatian banyak teman. Lebih baik kutenggelamkan diri seharian di turnamen World Cup Championship ketimbang sibuk mencari perhatian dunia. Atau membangun Kerajaan Novaya Russia sebagai Grigor Stoyanovich. Yah, meskipun tak jarang, kesibukan yang satu ini mengundang perhatian ibu. Bukan perhatian sih, tapi kemarahan. Berlarut-larut memainkan petualangan anak-anak, katanya. Oh ibu, aku juga belum dewasa. Meskipun boleh dibilang, posturku di atas rata-rata. Bongsor, kata nenek, bertahun-tahun silam.
.
Oh iya, apa menariknya kisah ini kuceritakan, atau dibaca teman-teman? Tidak ada. Sungguh tidak ada. Malah kalau sampai tulisan ini terbaca teman sekelas, dibacakan keras-keras, bisa mati karena malu aku. Itu juga sebabnya aku tidak pernah membawa ini ke sekolah. Ah, keluar kamar pun juga tidak. Karena ada banyak rahasia di dalamnya. Ada banyak keistimewaan di sini. Ada banyak nama yang kutulis. Dan dari semuanya, yang paling tidak boleh terbaca adalah satu rahasia. Bahwa ternyata, cintaku tidak pernah bertepuk sebelah tangan.
.
Satu lagi, dengan duduk di kursi belajar seperti ini, sibuk menuliskan sesuatu di buku seperti sekarang, setidaknya akan menenangkan hati ibu. Ia akan berpikir kalau aku sedang belajar. Bukan sibuk dengan stick console di depan layar televisi saja.
.
Apakah benar aku belajar? Jelas tidak belajar IPA, matematika, atau sejenisnya. Aku belajar, memang. Belajar mengenal kemampuan rahasia yang akan sangat didambakan oleh banyak manusia. Aku belajar sedikit demi sedikit, bahwa diriku punya kemampuan macam jutsu atau chakra. Chakra yang mampu memastikan sebuah perasaan terbalaskan. Bukankah setiap orang menginginkannya? Ingin cintanya kepada seseorang terbalaskan, lantas hidup bahagia selama-lamanya?
.
Apakah menyenangkan punya alat semacam itu? Apakah dengan begitu lantas menjadikan segala urusan cinta semudah membalikkan telapak tangan?
Jangan salah. Jika kalian berada di sini, tentu kalian akan melihat senyuman getirku. Ah, satu titik air sudah jatuh. Kenapa mendadak hidungku tersumbat?
.
Jangan salah, teman.
Sungguh, aku punya. Sudah terbukti malah. Tidak satupun anak panah dari busur cintaku yang meleset. Selalu mengenai sekeping hati, bahkan yang paling misterius sekalipun. Cintaku selalu terbalas. Tidak ada yang pernah menolaknya. Kalian mau mendengar bagaimana semua ini bermula? Kita akan memulainya dengan cinta pertama.
.
Ditta. Dia cinta pertamaku. Aku sudah mengenalnya sejak masuk ke jenjang sekolah kedua, SMP. Dua bulan belajar di kelas yang sama, benih ketertarikan itu tumbuh. Dua bulan. Artinya, itu upacara ke sembilanku. Kami berdiri di lapangan upacara, bersama ratusan peserta lainnya. Barisan terbelakang. Malas harus fokus tegap berdiri jika di barisan terdepan. Entah apa yang menjadi alasannya, Ditta juga memilih barisan terbelakang, tepat di sebelah kananku. Saat pembina upacara menyampaikan amanahnya, saat itulah peristiwa penting terjadi.
.
“Ditta, aku suka kamu.”
.
Sepuluh detik mukanya memerah seperti kepiting rebus yang dilumuri saus tomat. Di detik ke lima belas, dia jatuh pingsan. Ada regu dari UKS yang siaga membawanya, dibantu seorang guru. Suasana upacara menjadi gaduh, tak lagi khidmat. Pembina pun menghentikan amanahnya sejenak. Menunggu suasana aman terkendali, korban berhasil diselamatkan, barulah dilanjutkan.
.
Come on man! Do you believe that?
.
Jika supermarket menjual alat untuk membuat seseorang tidak percaya, merubah takdir masa lalu itu, sungguh, akulah orang pertama yang akan membelinya. Aku, sungguh-sungguh tidak ingin mempercayainya. Tapi apalah daya ini. Peristiwa itu sudah telanjur terjadi. Satu anak panah sudah terlepas dari busurnya. Tepat mengenai sekeping hati, yang pagi itu tak sadarkan diri. Ditta, dia cinta pertama yang penuh kelucuan.
.
Ah, satu titik lagi yang terjatuh.

BAGIAN TIGA

Cinta Monyet

* * *

Insiden upacara menjadi awal kedekatanku dengan Ditta. Lucu saja begitu, membahas ungkapan cintaku yang dibalas dengan pingsan. Ditta masih bersemu merah ketika istirahatnya, aku berkunjung ke ruangan UKS. Ia menjelaskan belum sarapan, kepanasan, akhirnya terjatuh. Lewat penjelasan itu, ia berusaha menyampaikan, “Jangan kegeeran dulu kamu ya!”.
Aku tertawa melihat wajahnya. Dia, tak perlu kujelaskan bagaimana cantiknya. Itu justru akan mengurangi keagungan seorang wanita. Bisa saja kugambarkan ini, kujelaskan itu, untuk meyakinkan betapa ia memang mempesona. Tapi untuk apa? Siapa pun yang melihatnya, pasti tahu tanpa perlu dijelaskan dengan kata-kata.
.
“Kau masih akan di UKS, atau masuk ke kelas?” tanyaku setelah mendengar bel masuk.
.
“Ya masuklah. Aku sudah sehat.” Ia berbicara ketus. 
.
“Yakin sudah sehat?”
.
Ditta hanya mengangguk.
.
“Jadi, sudah bisa menjawab pertanyaanku pagi tadi dong?” kataku menggoda. Duh, mukanya sudah memerah. Aku tebak, ia menahan nafasnya. Entah marah, atau malu. Mungkin dua-duanya. Tapi aku ragu dengan yang pertama. Untuk apalah dia marah?
.
“Apa? Kau tidak tanya apa-apa tadi.” 
Ditta hanya melangkah keluar, tanpa menatapku sama sekali.
.
Aku tertawa kecil. Lucu sekali anak ini. Eh, tapi benar juga sih. Aku tidak bertanya apa-apa. Hanya bilang suka. Atau cinta? Ah, sama saja. Bagi remaja kemarin sore sepertiku, rasa suka dan cinta tidak berbeda. 
.
Di kelas, Ditta terlihat biasa saja. Kami mengikuti pelajaran sampai selesai, bel pulang pukul 14.00.
.
“Kau benar-benar tidak mau menjawab, Ditta?” tanyaku kesekian kali. Kelas sudah nyaris kosong. Hanya tersisa kami, dan dua teman lagi yang sedang piket. Murid kelas ini biasa melaksanakan tugas piket pulang sekolah. Mengangkat bangku-bangku, menyapu debu-debu, memungut sampah satu-satu. 
.
“Surya, pulang sana! Kau mengganggu saja.”
.
“Aku menunggu jawabannya, Ditta.”
.
“Kau tidak tanya apa-apa kok. Sudah, pulang atau.. “ Ia memasang wajah sok marah. Mengangkat sapu lidi, mengancam.
.
Aku menghela nafas pelan. Mengalah. Bukan menyerah. Beda dong ah! Setelah memberi senyuman pamit paling sumringah, akhirnya aku mengambil langkah. .
“Biarlah... ku rela... melepasmu... meninggalkan aku...” Aku menyanyi dari pintu kelas sampai ke parkiran sepeda. Berharap didengar oleh peri cantik yang sedang menyelesaikan tugas piketnya.
.
Apakah ini cinta? Atau sekedar rasa suka? Duh, kalau betul kata teman-teman, ini cinta monyet. Aku tertawa dalam hati. Tidak percaya dengan istilah temanku itu. Well, monyet mana sih yang pingsan saat temannya menyatakan perasaan?
.
Apakah cintaku terbalas? Hmm, jika kalian masih menanyakan hal itu, berarti kalian tidak menyimaknya. I have a special chakra you know? Jelas jawabannya ya!

BAGIAN EMPAT

Senyuman Hari Selasa

* * *

Hari selasa, semuanya jadi lebih indah. Meskipun di kelas kami tidak ada yang namanya Bunga, tapi seolah ketiga puluh tiga murid yang hadir hari ini memancarkan rona kemerahan khas mawar, menebar semerbak kewangian khas melati. Aku memasang ekspresi skeptis, kau tahu, itu lho dengan kerutan di dahi. Menyipitkan mata, melirik kemana-mana. Hei, ada apa ini? Semua orang menatapku dengan senyuman musim semi. Aneh. Aneh sekali. Ini Indonesia kawan, yang ada hanya kemarau dan hujan. So, pasti ada yang tidak beres dengan gerak-gerik mereka. Di sudut kelas, Tompi menatapku dengan senyum yang sama. Tangannya berusaha menurunkan bangku dari atas meja, tapi tatapannya tidak beralih dari pintu kelas, tepat di mana saat ini aku diam berdiri. Aku tidak tertarik membalas senyuman itu. Dalam hati menggelengkan kepala cepat-cepat.
Di sudut lainnya, Riska, juga melihatku dengan senyum mencurigakan ala-ala Squarepants. Bangkunya sudah turun, ia tinggal duduk tanpa melepaskan pandangan dariku. Kalau saja Tutik, teman satu mejanya jahil menarik bangku itu, Riska bisa jatuh terjengkang. Tapi tidak jadi. Bukan karena Tutik tidak jahil, karena kalau kalian tahu, anak itu bisa dapat sertifikat The Most Jahil Person of The Month gara-gara mengerjai kakak kelas dengan permen karet di acara MOS. Tapi perhatian Tutik pun seolah terpaku padaku. Menemani Riska melemparkan senyum, tapi ala-ala Squidword. Eh, tunggu dulu. Squidword kan jarang sekali tersenyum, pasti ada yang tidak beres kali ini. Atau mungkin hari kebalikan? Ah sudahlah. Untuk dua senyuman dari pegawai Krusty itu, bolehlah kali ini aku balas senyuman. Demi sopan santun.
.
Rasanya tidak perlu kuceritakan satu per satu teman yang selasa pagi ini menawarkan senyuman aneh kepadaku. Terlalu panjang bukan? Atau tidak masalah? Haha, tidak-tidak. Kalaupun kalian tidak, aku yang bermasalah. Harus menyampaikan senyuman Haris, Titin, Eko, Sari, Putra, Janu, dan dua puluh teman lainnya. Tempat dudukku di pojok belakang, jadi harus melintasi banyak orang sebelum sampai tujuan. Bukan aku tidak tertarik membalas senyuman mereka, tapi lebih karena hari ini, senyuman yang kutunggu lebih spesial. Milik Ditta. Aduh, malu aku. Eeh, tunggu dulu. Justru itu pertanyaannya. Kenapa yang satu itu tidak ada? Sepanjang perjalananku dari pintu kelas sampai bangku pojok yang sekarang kududuki, tidak ada Ditta. Aku tidak menemui senyuman paling mempesona yang jika melewati batasannya bisa jatuh pingsan itu. Di mana dia? Iya, dia...
.
Belum sempat aku menanyakan ke Rudi, pemilik bangku di depanku, jawabannya sudah datang. Ditta mengetuk pintu pelan, tanpa merasa perlu mengucap salam. Ia disambut senyuman yang sama oleh tiga puluhan teman sekelas. Berbeda denganku, Ditta tidak peduli senyuman mereka ala-ala siapa. Dia hanya membalas dengan kelipatan senyum terbesar. Ah, itu materi matematika kami kemarin. Duh, meskipun kalah jumlah, satu senyum melawan tiga puluh senyum, aku berani menaruh seluruh chipku untuk Ditta di meja taruhan. Jelas tidak ada yang bisa mengalahkan senyuman itu. Manisnya, meronanya, dan yang lebih penting, alaminya. Organik! Ah, itukan materi IPA kemarin.
.
Ditta melangkah santai. Melewati Tompi, Titin, dan barisan meja kedua. Loh.. loh.. tunggu dulu. Dia juga melewati bangkunya sendiri. Berjalan santai dengan ransel pink di punggung, menuju bangku paling belakang. Glek. Aku menelan ludah, menahan nafas gugup. Mau kemana dia?
.
Belum lagi sempat kutanyakan pada Rudi, Ditta sudah sampai di bangku paling belakang. Tepat di sampingku. Hitungan detik, ia menarik kursinya, meletakkan ransel di laci meja, dan duduk di sebelah kananku.
.
“Hai!” sapa Ditta dengan senyuman yang kata dokter, sudah di luar batas takaran.
.
“Eh. Ha.. hahh.. hai..!”
.
Sontak seluruh kelas buncah dengan segala jenis godaan. Ciye.. Uhui... Ehm.. Uhuk.. Batuk... Hachiim...
.
Oh, ibu. Anakmu perlu cek kadar gula ini.

BERSAMBUNG


CATATAN:

1. Penayangan cerbung “DIA (Serial Cinta)” akan ditayangkan tiap Senin-Selasa. Dan akan digabungkan beberapa episode dalam satu postingan, tergantung dari jumlah kata cerbungnya.

2. Cerbung ditulis oleh sahabat saya di FB, Kak Dwi Cahyo Yulianto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar