BAGIAN TUJUH
Harapan Ditta
*
* *
.
Begitu juga waktu yang kulalui di kelas sembilan ini. Penuh misteri. Misteri pertama, kenapa waktu begitu cepat berlalu? Aku selalu ingin, saat kami sekelas tertawa riang, bernyanyi bersama, adalah momen yang akan terus terulang. Tak pernah hilang. Tak pernah ada kata selesai. Tapi tidak bisa. Misal pagi ini aku berkumpul dengan mereka, Aji, Tompi, Tutik, dan teman-teman spesial lain, pasti dalam hitungan jam kebersamaan ini harus tercerai. Berpisah, kembali kepada kehidupan masing-masing. Besoknya begitu juga. Sampai nanti, ketika tidak ada lagi kesempatan untuk berkumpul, bernyanyi, dan bercanda ria. Duh, waktu. Ingin rasanya aku menghentikanmu. Tepat ketika kelas ini terisi tawa ria. Saat kami berkumpul dalam indahnya suasana. Ingin sekali di saat seperti itu, aku menghentikanmu. Memaksa matahari untuk tinggal diam di tempatnya. Menahan pagi untuk tidak beranjak pergi. Tapi sayang, tidak ada chakra yang mampu mengendalikannya. Tidak ada kemampuan yang bisa mengintervensi, tidak ada waktu yang akan berhenti. Semuanya berjalan, bergerak, berpindah, dan pergi.
.
Waktu jualah yang mengantarkan kami sampai di titik ini. Masa-masa sekolah yang lucu, seru, nyaman, aman, terkendali. Masa yang akan kami kenang nanti.
.
Kalian penasaran dengan Mutia? Bukan hanya kalian. Aku juga. Aji juga. Tompi juga. Eh, apa perlu kusebutkan dua puluh teman lagi?
.
Tapi aku lebih penasaran dengan Ditta. Ditta Purwadinata. Kenapa dengan dia? Dia menjauh. Menjadi sangat jauh. Ada apa dengan dia? Setiap kali kutanya kabar, dijawab seadanya. Setiap kuajak bercanda, dijawab senyuman seadanya. Ada apa? Aku tahu persis, itu senyuman yang dipaksa. Tidak rela, tanpa sepenuh jiwa. Ada apa? Apa aku melakukan kesalahan? Tidak kan? Sungguh ironi. Dan kau tahu apa yang lebih ironi dari pertanyaan yang tak terjawab? Pertanyaan yang dijawab dengan "Tidak apa-apa."
.
That's true. Dan faktanya, mungkin ada lebih banyak lagi laki-laki yang frustasi karena jawaban itu.
.
Ya, sudahlah. Apa mau dikata? Aku tidak bisa memaksa. Lagian, mau memaksa untuk apa? Sebetulnya tidak ada yang hilang. Ditta tetap membuka komunikasi, menjawab pertanyaan, tersenyum dengan sopan. Tapi ini beda. Senyumannya tidak lagi seceria dulu. Ada sejumlah partikel yang hilang dari kadar senyumannya. Astaga, aku tidak menyangka akan jadi serumit ini. Bahkan, hanya karena senyuman yang berkurang saja akan membuat duniamu tidak berwarna? It doesn't make a sense!
.
Begitulah. Kami menjalani bulan-bulan terakhir di kelas ini dengan sebuah 'kerenggangan'. Ya. Mungkin itulah kata yang paling tepat untuk hubungan kami. Pertemanan, atau persahabatan, atau... entahlah.
.
Mutia? Dia lebih dekat dengan teman sebangkunya. Meskipun dengan sikap supel, pemberani, dan superpedenya, dia terlihat akrab dengan banyak orang. Dengan semua teman. Hanya perlu sehari untuknya bisa beradaptasi dengan kami. Akrab, dan mudah diakrabi. Mungkin seperti itu ya anak kota, pikirku dalam hati.
.
Ya, meskipun dalam banyak kesempatan, Mutia lebih sering bersama Ditta, teman sebangkunya dibanding teman lain. Mereka terlihat sangat kompak. Dalam banyak hal. Termasuk kompak mondar-mandir di kepalaku.
.
***
.
Teet...!! Teet!! Teet...!!
Bel ujian selesai dibunyikan. Sekadar formalitas saja. Karena kenyataannya, semua peserta sudah berada di luar ruangan. Meributkan sesuatu yang sama. Tadi jawab apa? Aduh, aku salah berarti. Nomor tiga puluh apa? Begitu terus selama tiga hari terakhir. Aku tidak tertarik ikutan. Lebih berminat untuk mendekati Ditta, dan Mutia. Ini hari terakhir di sekolah, mungkin ada sesuatu yang perlu dikatakan. Maaf mungkin?
.
"Hai, Ditta, Mutia." Aku mendekat. Papan ujian, pensil dan penghapus sudah tersimpan aman di ransel.
"Hai, Sur. Ada apa?" tanya Mutia sembari membereskan peralatan. Ditta yang lebih dekat denganku justru diam, tidak menjawab.
.
"Tidak ada apa-apa. Ini hari terakhir, kan ya? Ada rencana apa untuk liburan ini?"
.
"Liburan? Yang bener kita liburan? Jangan bercanda deh Sur. Kita ini harus daftar sekolah lagi. Ngurus ini itu, belajar ini itu, kursus ini itu..."
.
Deg. Suasana lengang kemudian. Pembicaraan soal mendaftar sekolah lagi membuat sesak. Ah, mungkin aku saja. Mutia tampak biasa. Bahkan lebih siap menurutku. Dari gelagatnya, ia mungkin sudah diterima di sekolah unggulan di kota. Anak itu memang cerdas. Sesuai dengan kacamata minusnya.
.
"Kamu mau daftar ke mana Sur?" tanya Mutia.
.
"Eh, aku? Entahlah. Aku juga tidak tahu. Mungkin di sekitar sini saja. Atau mendaftar di sini lagi. Aku sudah telanjur cinta dengan sekolah ini. Berat untuk pergi." Aku tertawa kecil. Mutia hanya menggeleng, Ditta masih diam.
.
"Cinta sekolah ini, apa cinta sama muridnya?" kini Mutia yang tertawa, meledekku. Matanya memberi isyarat ke arah Ditta.
.
"Ya sudah, aku pulang dulu ya, Mut, Sur." Tiba-tiba, Ditta memotong percakapan. Tanpa perlu mendapat jawaban, ucapan sampai jumpa lagi, atau sekedar senyum perpisahan, Ditta sudah kabur. Berjalan cepat menjuju arah gerbang.
.
Aku dan Mutia menatapnya dari depan ruang ujian. Ditta, perempuan dengan senyum manis itu pulang.
.
"Kamu ini nggak peka ya, jadi cowo."
.
"Heh? Peka gimana? Apa yang salah?"
.
"Soal apa lagi. Ditta lah. Bahkan sampai hari terakhir ini, kamu masih diem aja."
.
Aku memasang raut wajah bingung. Apa maksudnya? Serius aku belum paham. Apa sebetulnya kesalahanku? Bukankah selama ini yang merubah sikap justru Ditta?
.
"Surya, Surya. Jadi kamu nggak tahu?"
.
Aku menggeleng.
.
"Serius nggak tahu?"
.
Menggeleng lebih cepat. Tahu apa?
.
"Dua bulan terakhir, Ditta puasa lho."
.
Hah? Puasa? Ramadan masih dua bulan lagi, puasa apa?
.
"Yang dinasihati Pak Hamdan. Biar harapan-harapannya terkabul."
.
Aku berpikir sejenak. Berusaha mengingat-ingat. Oh, iya.
.
"Oh, biar lulus ujian tho. Kayaknya teman-teman lain juga begitu. Tapi cuma dua hari, udah nggak kuat lagi." Aku tertawa, menyadari aku sendiri hanya bisa sehari.
.
"Tapi bukan itu harapan Ditta."
.
"Hh? Lalu apa?"
.
"Biar bisa satu SMA sama kamu."
.
Boom!
Sebuah C4 sudah dijatuhkan, tepat mengenai jantung hatiku. Sesak. Kenapa tiba-tiba sesak?
.
"Se..se..serius?" tanyaku gugup. Entahlah. Kenapa pula harus gugup? Bukankah seharusnya senang? Ada seseorang yang begitu mengharapkan kebersamaan dengan kita? Tapi kenapa sikapnya selama ini justru menjauh? Ah, rumit sekali menebak jantung hati gadis yang kau cintai. Seperti kata Sinichi.
.
"Kan nggak peka."
.
"Kenapa sampai sebegitunya? Bukankah tidak terlalu sulit untuk mendaftar di satu tempat yang sama?"
.
"Mana aku tahu. Aku bukan Ditta. Dia memang aneh. Perasaannya bisa meledak sewaktu-waktu." Mutia tertawa. Tawa yang aneh. Tidak terlepas seperti biasa.
.
"Tapi dia bilang, kalau keluarganya akan pindah ke Jawa. Mungkin dia juga akan sekolah di sana."
.
Glek.
.
"Kau tahu semua ini? Dan tidak bilang padaku?" tanyaku sedikit tidak percaya.
.
"Hei, untuk apa aku cerita? Surya... Surya... aku sudah berjanji untuk jadi pendengar yang baik. Kenapa pula harus bercerita?"
.
Aku mendengus kesal. Tidak percaya, sungguh tidak percaya. Bagaimana mungkin perempuan bisa menjaga rahasia besar seperti ini dengan sangat rapat? Duh, kalaupun aku tahu, ternyata ada ribuan kali rahasia yang lebih besar untuk disimpan di hati seorang perempuan. Entahlah, sebesar apa ruangan yang disebut hati itu.
BAGIAN DELAPAN
Harapan Mutiara
*
* *
Aku segera bergegas pergi. Meninggalkan
Mutiara di depan ruangan ujian, sendiri. Setelah mendengar apa yang diucapkan
Mutia, bisa jadi Ditta akan langsung berangkat hari ini. Aku harus segera
menyusulnya. Menemuinya. Meminta maaf padanya. Apapun. Yang jelas, aku ingin
melihat senyumannya lagi. Apakah itu senyuman terakhir sebelum benar-benar
pergi, apakah itu senyuman terpaksa hanya demi sopan santun, aku tidak peduli.
Duh, seandainya kau bilang dari awal, Ditta. Andai kau tidak terlalu egois
memendamnya sendirian, mungkin aku akan bersikap lebih baik lagi. Lebih lagi.
Tapi kenapa justru menjauh? Jika demi bersekolah dalam satu atap lagi kau bisa
melakukan banyak hal, kenapa sekadar untuk mengatakannya saja susah? Kau
benar-benar egois. Aku mendengus sebal.
.
Dalam hitungan menit, aku sudah menggoes sepeda BMX di jalan raya. Membalap beberapa teman sekelas, teman beda kelas, yang kutebak masih sibuk membicarakan soal ujian. Tadi nomor sepuluh A kan? Aduh, aku lupa mengisi nomor paket soal! Aduh, aduh...
.
Aku tidak menghiraukan. Kesibukan itu tidak lebih penting dari urusanku satu ini. Aku harus segera mengejar Ditta. Sebelum terlambat. Sebelum yang dikatakan Mutia benar, seluruh keluarganya akan pindah ke Jawa. Aku menggoes lebih cepat sepedaku. Menyusuri jalan kecamatan.
.
"Aku bukan Ditta. Dia memang aneh. Perasaannya bisa meledak sewaktu-waktu." Kalimat Mutia kembali terngiang di pikiranku. Astaga, kenapa aku tidak menyadarinya sama sekali? Bukankah perasaan Ditta sudah meledak tiga tahun lalu? Di tengah upacara bendera. Aku menghela nafas berat. Semoga kali ini belum terlambat.
.
Dua ratus meter lagi menuju rumah Ditta. Nafasku sudah terengah-engah, kakiku lelah, hatiku gelisah. Seratus meter lagi, dan semuanya akan jelas. Lima puluh meter. Tiga puluh meter. Dan aku berhenti. Nafasku memburu. Peluh sudah bercucuran tak terbendung. Tapi lajuku terhenti sebelum sampai di tujuan. Apakah sudah terlambat?
.
Entahlah. Aku tidak tahu. Bisa ya. Bisa tidak. Dari jarak ini, aku bisa melihat pintu rumahnya.
Aku memejamkan mata sejenak. Menghela nafas berat. Sangat berat. Mungkin lelah.
.
Itu dia! Jeritku dalam hati, girang. Itu si pemilik rumah, Ditta Purwadinata. Pemilik senyum merona yang telah lama tak menampakkan pesonanya. Mungkin berpuasa?
.
Ditta terlihat masih mengenakan seragam batik. Tapi ransel dan sepatunya sudah terlepas, berganti sandal pink, kesukaannya.
.
Ia terlihat mengambil sepeda, dan hendak memasukkannya ke garasi. Oh, tidak. Aku harus bergegas. Sebelum Ditta kembali ke rumah, aku beranikan diri untuk menghampiri.
.
"Ditta!"
.
Yang dipanggil berhenti melangkah. Satu meter dari pintu rumah, ia membalik arah.
.
"Surya?"
.
Aku melihat raut kegelisahan dari matanya. Atau mungkin terkejut dengan kehadiran tamu tak diundang ini.
Sepedaku sudah terparkir di pinggir jalan. Kini melangkah masuk ke halaman.
.
"Tumben?"tanya Ditta.
.
"Eh... emm.. anu.." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
.
"Ada apa?" Ditta bertanya.
.
"Kau sungguh-sungguh akan pergi?"
.
"Pergi? Pergi kemana?"
.
"Eh.. Ke Jawa? Ikut keluargamu? Kau sungguh-sungguh akan pergi?"
.
Ditta memasang ekspresi bingungnya. Belum cukup paham meski aku sudah mengatakannya dengan gamblang.
.
"Maksudmu apa Sur? Keluargaku di sini. Siapa yang mau berangkat ke Jawa? Jangan bercanda deh."
.
Aku mematung beberapa lama. Apa katanya? Apakah aku tidak salah dengar? Apakah ini berita gembira, atau justru sebaliknya?
.
"Tapi... tapi... Mutia bilang, kau akan ke Jawa, sekolah di sana ikut orang tuamu. Dia... dia juga cerita soal puasa. Tentang harapan itu..." Wajahku memerah di ujung kalimat.
.
Ditta terdiam sesaat. Otaknya masih mencerna kalimatku barusan.
.
"Apa kau bilang? Mutia yang mengatakannya?"
.
"Iya. Dia menceritakannya saat kau pulang tadi. Apakah dia berbohong? Dia mengerjaiku saja kan?" Aku berusaha tertawa, terpaksa.
.
"Tidak Surya. Dia tidak sepenuhnya berbohong. Dia jujur. Kau saja yang tidak peka."
.
Eh? Tidak peka? Lagi-lagi tidak peka? Bukankah sekarang aku sedang mewujudkan kepekaanku dengan menemuinya. Tidakkah ini sudah cukup peka?
.
"Apa maksudmu? Kau tidak pergi kan?" tanyaku memastikan.
.
"Kan nggak peka."
.
Aduh. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Dua anak ini kenapa kompak betul dialognya. Seperti sudah direncanakan saja.
.
"Mutia bilang apa soal puasa?"tanya Ditta memutus kebingunganku.
.
"Eh.. anu.. katanya kau sudah dua bulan ini berpuasa."
.
"Ya. Kami berdua, bukan aku saja. Terus, apa lagi?"
.
"Katanya, kau ingin harapanmu terwujud. Agar kita bisa satu SMA nantinya."
.
Suasana lengang beberapa saat. Ditta terdiam. Matanya berkaca-kaca. Hidungnya memerah.
.
"Ada apa? Apakah dia berbohong? Apakah dia hanya mengerjaiku?"
.
"Tidak Surya. Dia sedang berusaha untuk menyampaikannya. Tapi kau tidak peka."
.
Apalagi? Masabodo dengan peka. Aku ingin tahu yang sebenarnya.
.
"Kami janjian untuk berpuasa. Tapi kami belum menyampaikan harapan satu sama lain. Rencananya hari ini. Sepulang sekolah tadi. Tapi kamu malah datang."
.
Deg. Apa maksudnya ini?
.
"Jadi yang disampaikan Mutia itu... adalah harapan pribadinya." Ditta menunduk, nadanya rendah.
.
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
.
"Dan yang akan pergi ke Jawa, itu juga dia. Ayahnya dipindah tugaskan di Jawa. Alasan yang sama kenapa dia pindah ke sekolah kita. Ikut ayahnya. Sekarang, Mutia juga harus ikut ayahnya lagi."
.
Aaark! Teriakku dalam hati. Kenapa aku tidak menyadarinya. Mutia. Dia tadi bertingkah aneh. Tawanya tidak seperti biasa. Ada sesuatu yang disembunyikan. Dan ternyata. Duh, berapa kali lagi aku harus menghadapi hati perempuan?
.
Aku menelan ludah. Apa yang harus kulakukan?
.
"Kapan dia akan berangkat?" tanyaku buru-buru.
.
"Seharusnya besok."
Seharusnya? Tidak... tidak. Aku tidak ingin terjebak lagi. Aku harus, aku harus menemui separuh hatiku yang lain.
.
Tanpa merasa perlu berpamitan, aku segera beranjak dari rumah Ditta. Meninggakannya sendiri, yang entah bagaimana pula perasaannya. Perempuan. Aku sungguh tidak tahu bagaimana jalan pikiran kalian. Rumit, pelik, seperti labirin, penuh jebakan. Dan sialnya, sekarang aku sedang terjebak oleh dua labirin sekaligus. Mereka benar-benar kompak.
.
Sepeda BMX yang sudah termodif ini segera melesat menyusur jalan kecamatan. Mengandalkan sisa-sisa kekuatan kaki, mengumpulkan sisa-sisa nafas.
.
Mutiara Citra Kirana. Sosok cinta pada pandangan pertamaku. Pertemuan awal yang sungguh di luar dugaan. Kini akan terpisah, masih di luar dugaan. Tega sekali kau, Mutiara. Bagaimana mungkin kau tidak mengatakannya tadi? Atau aku yang betul-betul tidak peka.
.
"Semoga beruntung, Surya." Aku mendengar suara itu. Entah darimana asalnya. Mungkin dari arah belakangku, dari sesosok gadis yang kutinggalkan untuk mengejar cinta yang lain. Aku tidak bisa melihatnya. Jua tak ingin membayangkannya. Tapi entah kenapa, kini Ditta hadir dalam benakku, dengan tangis, tersedu. Apakah dia benar-benar menangis? Entahlah. Bukan tidak penting, tapi tidak mendesak. Aku masih bisa menemuinya nanti. Tapi Mutia?
.
Lima belas menit kemudian, aku sudah memarkirkan sepeda di belakang kantor sekolah. Kalau hari biasa, jelas tidak boleh. Tapi sekarang sudah sepi. Sekolah ini kehilangan penghuninya. Duh, semoga belum terlambat.
.
Aku segera berlarian menuju ruangan ujian tadi. Berharap sosok gadis berkacamata itu masih duduk manis di sana.
.
Ada! Ada seseorang di sana. Aku segera melangkah cepat, mendekat.
.
Tunggu dulu... hei. Itu bukan Mutia, tapi Aji. Hatiku mendadak melemah. Persendianku berdecit. Jantungku berdebar.
.
"Di mana Mutia?"
.
"Sudah dijemput mobil tadi."
.
"Apa? Oh tidak. Aku harus segera menyusulnya."
.
"Sudah tidak bisa, Surya. Dia sudah bilang padaku tadi."
.
"Apa katamu? Dia bilang sesuatu?"
.
Aji mengangguk. "Kau pikir kenapa aku masih duduk di sini, bukannya pulang? Mutia memintaku untuk menunggu di sini sebentar. Dia bilang, kau pasti akan kembali ke sini. Ada sesuatu yang tertinggal."
.
Aku menelan ludah. Resah.
.
"Dia sudah pamit padaku. Dan untukmu, dia meninggalkan sesuatu."
.
"Apa?" tanyaku pelan.
.
"Maaf. Katanya dia menitipkan maaf, sudah mengerjaimu. Hitung-hitung balasan telah menertawainya.
.
Dalam hitungan menit, aku sudah menggoes sepeda BMX di jalan raya. Membalap beberapa teman sekelas, teman beda kelas, yang kutebak masih sibuk membicarakan soal ujian. Tadi nomor sepuluh A kan? Aduh, aku lupa mengisi nomor paket soal! Aduh, aduh...
.
Aku tidak menghiraukan. Kesibukan itu tidak lebih penting dari urusanku satu ini. Aku harus segera mengejar Ditta. Sebelum terlambat. Sebelum yang dikatakan Mutia benar, seluruh keluarganya akan pindah ke Jawa. Aku menggoes lebih cepat sepedaku. Menyusuri jalan kecamatan.
.
"Aku bukan Ditta. Dia memang aneh. Perasaannya bisa meledak sewaktu-waktu." Kalimat Mutia kembali terngiang di pikiranku. Astaga, kenapa aku tidak menyadarinya sama sekali? Bukankah perasaan Ditta sudah meledak tiga tahun lalu? Di tengah upacara bendera. Aku menghela nafas berat. Semoga kali ini belum terlambat.
.
Dua ratus meter lagi menuju rumah Ditta. Nafasku sudah terengah-engah, kakiku lelah, hatiku gelisah. Seratus meter lagi, dan semuanya akan jelas. Lima puluh meter. Tiga puluh meter. Dan aku berhenti. Nafasku memburu. Peluh sudah bercucuran tak terbendung. Tapi lajuku terhenti sebelum sampai di tujuan. Apakah sudah terlambat?
.
Entahlah. Aku tidak tahu. Bisa ya. Bisa tidak. Dari jarak ini, aku bisa melihat pintu rumahnya.
Aku memejamkan mata sejenak. Menghela nafas berat. Sangat berat. Mungkin lelah.
.
Itu dia! Jeritku dalam hati, girang. Itu si pemilik rumah, Ditta Purwadinata. Pemilik senyum merona yang telah lama tak menampakkan pesonanya. Mungkin berpuasa?
.
Ditta terlihat masih mengenakan seragam batik. Tapi ransel dan sepatunya sudah terlepas, berganti sandal pink, kesukaannya.
.
Ia terlihat mengambil sepeda, dan hendak memasukkannya ke garasi. Oh, tidak. Aku harus bergegas. Sebelum Ditta kembali ke rumah, aku beranikan diri untuk menghampiri.
.
"Ditta!"
.
Yang dipanggil berhenti melangkah. Satu meter dari pintu rumah, ia membalik arah.
.
"Surya?"
.
Aku melihat raut kegelisahan dari matanya. Atau mungkin terkejut dengan kehadiran tamu tak diundang ini.
Sepedaku sudah terparkir di pinggir jalan. Kini melangkah masuk ke halaman.
.
"Tumben?"tanya Ditta.
.
"Eh... emm.. anu.." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
.
"Ada apa?" Ditta bertanya.
.
"Kau sungguh-sungguh akan pergi?"
.
"Pergi? Pergi kemana?"
.
"Eh.. Ke Jawa? Ikut keluargamu? Kau sungguh-sungguh akan pergi?"
.
Ditta memasang ekspresi bingungnya. Belum cukup paham meski aku sudah mengatakannya dengan gamblang.
.
"Maksudmu apa Sur? Keluargaku di sini. Siapa yang mau berangkat ke Jawa? Jangan bercanda deh."
.
Aku mematung beberapa lama. Apa katanya? Apakah aku tidak salah dengar? Apakah ini berita gembira, atau justru sebaliknya?
.
"Tapi... tapi... Mutia bilang, kau akan ke Jawa, sekolah di sana ikut orang tuamu. Dia... dia juga cerita soal puasa. Tentang harapan itu..." Wajahku memerah di ujung kalimat.
.
Ditta terdiam sesaat. Otaknya masih mencerna kalimatku barusan.
.
"Apa kau bilang? Mutia yang mengatakannya?"
.
"Iya. Dia menceritakannya saat kau pulang tadi. Apakah dia berbohong? Dia mengerjaiku saja kan?" Aku berusaha tertawa, terpaksa.
.
"Tidak Surya. Dia tidak sepenuhnya berbohong. Dia jujur. Kau saja yang tidak peka."
.
Eh? Tidak peka? Lagi-lagi tidak peka? Bukankah sekarang aku sedang mewujudkan kepekaanku dengan menemuinya. Tidakkah ini sudah cukup peka?
.
"Apa maksudmu? Kau tidak pergi kan?" tanyaku memastikan.
.
"Kan nggak peka."
.
Aduh. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Dua anak ini kenapa kompak betul dialognya. Seperti sudah direncanakan saja.
.
"Mutia bilang apa soal puasa?"tanya Ditta memutus kebingunganku.
.
"Eh.. anu.. katanya kau sudah dua bulan ini berpuasa."
.
"Ya. Kami berdua, bukan aku saja. Terus, apa lagi?"
.
"Katanya, kau ingin harapanmu terwujud. Agar kita bisa satu SMA nantinya."
.
Suasana lengang beberapa saat. Ditta terdiam. Matanya berkaca-kaca. Hidungnya memerah.
.
"Ada apa? Apakah dia berbohong? Apakah dia hanya mengerjaiku?"
.
"Tidak Surya. Dia sedang berusaha untuk menyampaikannya. Tapi kau tidak peka."
.
Apalagi? Masabodo dengan peka. Aku ingin tahu yang sebenarnya.
.
"Kami janjian untuk berpuasa. Tapi kami belum menyampaikan harapan satu sama lain. Rencananya hari ini. Sepulang sekolah tadi. Tapi kamu malah datang."
.
Deg. Apa maksudnya ini?
.
"Jadi yang disampaikan Mutia itu... adalah harapan pribadinya." Ditta menunduk, nadanya rendah.
.
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
.
"Dan yang akan pergi ke Jawa, itu juga dia. Ayahnya dipindah tugaskan di Jawa. Alasan yang sama kenapa dia pindah ke sekolah kita. Ikut ayahnya. Sekarang, Mutia juga harus ikut ayahnya lagi."
.
Aaark! Teriakku dalam hati. Kenapa aku tidak menyadarinya. Mutia. Dia tadi bertingkah aneh. Tawanya tidak seperti biasa. Ada sesuatu yang disembunyikan. Dan ternyata. Duh, berapa kali lagi aku harus menghadapi hati perempuan?
.
Aku menelan ludah. Apa yang harus kulakukan?
.
"Kapan dia akan berangkat?" tanyaku buru-buru.
.
"Seharusnya besok."
Seharusnya? Tidak... tidak. Aku tidak ingin terjebak lagi. Aku harus, aku harus menemui separuh hatiku yang lain.
.
Tanpa merasa perlu berpamitan, aku segera beranjak dari rumah Ditta. Meninggakannya sendiri, yang entah bagaimana pula perasaannya. Perempuan. Aku sungguh tidak tahu bagaimana jalan pikiran kalian. Rumit, pelik, seperti labirin, penuh jebakan. Dan sialnya, sekarang aku sedang terjebak oleh dua labirin sekaligus. Mereka benar-benar kompak.
.
Sepeda BMX yang sudah termodif ini segera melesat menyusur jalan kecamatan. Mengandalkan sisa-sisa kekuatan kaki, mengumpulkan sisa-sisa nafas.
.
Mutiara Citra Kirana. Sosok cinta pada pandangan pertamaku. Pertemuan awal yang sungguh di luar dugaan. Kini akan terpisah, masih di luar dugaan. Tega sekali kau, Mutiara. Bagaimana mungkin kau tidak mengatakannya tadi? Atau aku yang betul-betul tidak peka.
.
"Semoga beruntung, Surya." Aku mendengar suara itu. Entah darimana asalnya. Mungkin dari arah belakangku, dari sesosok gadis yang kutinggalkan untuk mengejar cinta yang lain. Aku tidak bisa melihatnya. Jua tak ingin membayangkannya. Tapi entah kenapa, kini Ditta hadir dalam benakku, dengan tangis, tersedu. Apakah dia benar-benar menangis? Entahlah. Bukan tidak penting, tapi tidak mendesak. Aku masih bisa menemuinya nanti. Tapi Mutia?
.
Lima belas menit kemudian, aku sudah memarkirkan sepeda di belakang kantor sekolah. Kalau hari biasa, jelas tidak boleh. Tapi sekarang sudah sepi. Sekolah ini kehilangan penghuninya. Duh, semoga belum terlambat.
.
Aku segera berlarian menuju ruangan ujian tadi. Berharap sosok gadis berkacamata itu masih duduk manis di sana.
.
Ada! Ada seseorang di sana. Aku segera melangkah cepat, mendekat.
.
Tunggu dulu... hei. Itu bukan Mutia, tapi Aji. Hatiku mendadak melemah. Persendianku berdecit. Jantungku berdebar.
.
"Di mana Mutia?"
.
"Sudah dijemput mobil tadi."
.
"Apa? Oh tidak. Aku harus segera menyusulnya."
.
"Sudah tidak bisa, Surya. Dia sudah bilang padaku tadi."
.
"Apa katamu? Dia bilang sesuatu?"
.
Aji mengangguk. "Kau pikir kenapa aku masih duduk di sini, bukannya pulang? Mutia memintaku untuk menunggu di sini sebentar. Dia bilang, kau pasti akan kembali ke sini. Ada sesuatu yang tertinggal."
.
Aku menelan ludah. Resah.
.
"Dia sudah pamit padaku. Dan untukmu, dia meninggalkan sesuatu."
.
"Apa?" tanyaku pelan.
.
"Maaf. Katanya dia menitipkan maaf, sudah mengerjaimu. Hitung-hitung balasan telah menertawainya.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar