Rabu, 22 Juni 2016

[Cerbung] Hos'Corta - Episode 3-4




BAGIAN TIGA

Panggilan Satu Pesan

* * *

Aku hanya menggumam, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
“Kau Jan, bukan? Ini aku, teman sekolahmu dulu."
Dua juta megaton tenaga nuklir meledak di jantungku, meruntuhkan segenap kesadaran. Suara sendu dari gadis berkerudung biru muda tak mampu kudengar dengan begitu jelas. Astaga, suara yang telah aku pasrahkan beberapa menit yang lalu, karena mungkin memang takkan pernah kudengar, kini menyapaku. Takdir yang telah kuikhlaskan berlalu pergi, kini berbalik seratus lima puluh tiga derajat, kau bayangkan saja itu.
Terasa menyesakkan di hati. Kau pernah merasakannya? Saat orang yang selalu kita rindukan, justru menganggap kita tidak lagi mengingatnya. Hey, bukankah setiap hari namanyalah yang dihayalkan? Bagaimana mungkin aku lupa. Dia, dia Nifa. Hey, jangan dulu terlalu berharap banyak, karena aku tak berniat menceritakan betapa cantiknya dia. Bukan hanya karena takkan cukup satu buku tebal saja. Lebih dari itu.
Mulutku tersumpal. Kata demi kata, sekedar mengucapkan “Hai”, “Apa kabar?”, sudah rontok sebelum sampai di tenggorokan. Apa yang harus kukatakan?
Keheningan di tengah keramaian. Beberapa detik kami saling bersitatap, tapi Nifa telah lebih dahulu menundukkan pandangannya. Hanya beberapa detik saja, karena di detik selanjutnya kami sudah ditegur oleh pengendara di belakang. "Hey, cepatlah!" seru seorang pemuda berwajah sangar di belakangku.
Aku sedikit gugup mendengar nada teguran yang baru saja terlempar ke arahku. Dengan sedikit gemetar, aku menunggangi motor Bang Gatra dan menyalakan mesinnya. Menyedihkan sekali, bahkan aku belum sempat menjawab sapaan sendu Nifa.
Tak cukup jauh mengendarai, aku langsung menghentikan motorku, lantas kuarahkan ke antrian panjang di SPBU itu lagi. Kuperhatikan Nifa juga tambah gugup mendengar bentakan pemuda yang kini di sampingnya menggantikan posisiku. Melihat wajah sangar itu seenaknya mengomel ke Nifa, sontak membuat genggaman tanganku pada stang motor semakin kencang. Tak tahan aku ingin meneriakinya juga.
Setidaknya sampai sejauh ini, aku sudah mendapatkan kabar gembira. Ternyata selama di antrian tadi Nifa tidak menyadari kehadiranku.
Sudahlah. Hal terpenting kali ini adalah bagaimana aku bisa menggunakan momen langka ini. Cukup dengan tahu bahwa dirinya tak melupakanku pun telah mengubah seisi kepala. Yang tadinya gersang penuh ilalang kepenatan, kini bersemi bunga seribu warna. Apa yang terjadi padaku kali ini?
Aku menghela nafas, sebentar. Mempersiapkan kekata yang pas untuk diucapkan kepada Nifa. Ini diluar dugaan, ternyata lebih sulit ketimbang menghadapi dewan juri dalam presentasi ilmiah. Aku menggigil sebentar. Entahlah. Apakah aku akan terjatuh dalam jurang kesalahtingkahan lagi, ataukah aku dapat mengendalikan suasana. Yang penting, aku harus mendapatkan informasi tentang kabarnya selama ini.
Kini rasa harap-harapku lebih tinggi dari sebelumnya. Semula aku hanya berharap dapat menyapa atau mendapatkan perhatiannya saja. Kini, berjuta rasa penasaran yang tercampur dengan euforia masalalu membuatku berharap lebih. Aku ingin tahu alasan apa yang mengantarkannya ke tempat ini, bahkan di tempat macam antrian SPBU yang aku sendiri saja jarang sekali mendatanginya. Kedua, aku ingin tahu bagaimana kabarnya selama ini, tentu saja sebagai orang yang pernah mengenalnya dan lama tak bersua hal ini wajar untuk ditanyakan. Ketiga, aku ingin tahu apakah... oh tidak, ini belum tepat untuk ditanyakan sekarang. Pikiranku kembali kubuat rumit.
Saatnya telah tiba! Aku tak sabar menantikan kesempatan bertanya ini lebih lama lagi. Mbak-mbak petugas SPBU telah menerima uang pembayaran dari Nifa. Dia cekatan menutup tangki bahan bakar. Yang masih tak mengenakkan dilihat, pemuda berwajah sangar itu pun ikut sibuk dalam antrian. Merusak pandangan saja.
Ini dia saatnya. Sudah berbaris puluhan pertanyaan yang ingin Kusampaikan. Sudah berjajar ribuan tawa yang ingin aku tebarkan. Dan ini benar-benar terjadi, setelah bertahun-tahun aku gantungkan harapan itu. Setelah bayangan untuk bertemu kembali itu benar-benar terkubur.
Kini tibalah saatnya. Perlahan Nifa menghidupkan motor maticnya. Dari kejauhan memang tak terlihat jenis kaca mata yang dia kenakan, plus minusnya. Hanya pertemuan di masa lalu sajalah yang dapat memberikan informasi bahwa kacamata itu berjenis minus. Kacamata yang sejak kelas X ia kenakan akibat hobi membacanya yang akut. Tak kurang dari tiga novel untuk dihabiskan dalam seminggu. Lebih-lebih di hari libur. Ia bisa saja habiskan hidupnya dengan membaca buku.
Detik-detik yang mengguyur perasaan, mungkin inilah salah satu momennya. Nifa menghampiriku dengan perlahan. Arah pandangnya menunduk, mungkin malu karena insiden kecil di antrian tadi. Kalau mau diusut-usut, memang insiden tadi disebabkan oleh sapaan Nifa. Tapi toh siapa yang peduli? Lebih penting menjawab sapaan dan mencecarnya dengan ribuan pertanyaan atas nama rindu.
Tiba-tiba handphoneku berdering dengan nada panggil yang lumayan loud. Berdering intro lagunya Electric Light Orcestra, the most favorite song, "Twillight". Lagu yang baru kudapatkan setelah menginjak usia kampus.
TORERORENG... TORERORENG...
Nifa berhenti dengan jarak yang cukup sopan. Pandangannya masih tertunduk, mempersilakanku untuk menjawab telepon. Aku mengeluh tertahan. Kenapa di saat seperti ini, dengusku sebal. "Sebentar ya," kataku kepada Nifa yang jelas-jelas sudah mempersilakanku sejak tadi.
Sebentar saja, kupikir demikian. Masih banyak waktu untuk berbincang dengan Nifa. Aku pun mengambil handphone dari saku celana kainku. Bang Gatra memanggil. 
Astaga. Aku sudah membuatnya menunggu berjam-jam! Aku lupa! Ada rasa bersalah yang tak ingin aku beritahukan di depan Nifa. Apakah aku harus mengangkatnya? Urusan menjawab atau tidak memang tidak rumit. Yang rumit itu saat gadis pujaanmu menunggu di hadapanmu. Kulihat Nifa mengangkat lengan kanannya. Ekspresi itu sering kuamati ketika orang-orang merasa akan terlambat. 
Aku memutuskan untuk mengangkatnya.
“Assalamualaikum, Bang”
“Waalaikumsalam, Jan. Di mana sekarang? Saya sudah mau pulang. Segera ke sekre ya. Sudah terlalu sore.”
“Iya, Bang. Mohon maaf terlambat. Mohon maaf Bang! Saya segera kesana.”
Panggilannya terputus.
Tiba-tiba Nifa memotong suasana bersalahku pada Bang Gatra. “Mohon maaf Jan untuk di antrian tadi. Jan akhirnya yang harus dibentak. Saya duluan Jan, sudah terlalu sore.”
“Nifa?” sapaku ragu-ragu, mencoba menghentikan laju kendaraannya yang berbalik menuju pintu keluar. Terlalu pelan. Payah. Panggilan terakhirku tidak didengarnya. Terlalu lirih, buyar oleh suara angkot yang menderu di sekitar SPBU. Nifa sudah menuju pintu keluar SPBU. Berakhir. Sudah, inikah akhirnya?. Masih terlihat, begitu dekat, tapi hanya soal detik matic itu akan menghilang. Bersama harapan yang belum sebiji kecambah mekar.
Masih ada pilihan untukku. Aku ikuti kepulangannya. Masih benar-benar terkejar jika aku melakukannya. Tapi Bang Gatra? Astaga. Aku sudah mengatakan untuk mengembalikan sepeda motor segera.

BAGIAN EMPAT

Pesan Tak Terbaca

* * *

Aku dihadapkan dalam kebimbangan. Andaikan saja ada yang bisa memberikan saran, seperti apa kira-kira? Apakah aku harus mengikuti Nifa? Karena mungkin ini adalah kesempatan terakhir? Bagaimana dengan Bang Gatra? Dia sudah menungguku terlalu lama. Izinku meminjam motor tadi hanya untuk membeli tali karet ban di sekitaran kampus. Kembali aku merutuki keadaan dalam hati.
Semakin lama aku berpikir, semakin jauh pula jarak kepergian Nifa. Dia melaju tidak terlalu cepat memang, aku perkirakan kalau itu bukan matic, baru menginjak gigi kedua. Tapi aku yang hanya terdiam, jelas tak dapat menghasilkan solusi apapun. Pikiranku yang rumit mendadak dihentikan oleh getaran. Tiba-tiba saja saku celanaku kembali bergetar, disusul dengan nada dering yang meskipun favorit, untuk sekarang ini terdengar menyebalkan.
“TORERORENG...!!! TORERORENG...!!!”
Itu Bang Gatra. Sepertinya inilah alasan terkuatku. Kehadiran mesin yang sedang kutunggangi ini telah dinantikan oleh pemiliknya. Aku urung mengangkatnya. Metode seperti ini sering kulakukan, agar si penelepon, kali ini Bang Gatra, berpikir aku sedang dalam perjalanan. Nada dering itu berlalu, tanpa harus tersentuh.
Nifa kian menjauh.
Inilah akhirnya, harus kusudahi. Gadis berkerudung biru muda itu sudah berbelok ke jalan raya, keluar dari lingkungan SPBU.
Aku teringat Bu Wali, suatu pagi tatkala itu.
“Mana yang akan kalian pilih?” tanya Bu Wali di sela-sela pelajaran. Ini gaya mengajar yang menjadi favorit teman-teman dari Bu Wali. Kecuali aku. Ya, aku tidak pernah ingat kapan terakhir kali benar-benar serius mendengarkan penjelasan Bu Wali, juga guru yang lain.
“Berjumpa tapi dipisahkan, atau tak berjumpa sama sekali?” Demi melihat wajah berpikir dari seisi ruangan kelas, Bu Wali tersenyum. Menaik-turunkan alis, menggoda salah satu di antara kami untuk berani menguntaikan nalar.
Percuma. Aku sudah melirik ke sudut ruangan. Duduk di sana gadis berkerudung putih. Hey, bukankah semuanya berkerudung putih? Tidak, tentu saja putih yang satu ini berbeda.
“Berjumpa Bu, meski harus terpisah.” Itu suara Nurul, tepat di sebelah gadis yang sedang kuperhatikan. Dia mengacungkan tangan, menutupi pandanganku untuk beberapa saat.
Bu Wali tersenyum. Menyimpan jawaban, lantas beralih ke belakang. Ada yang lain?
Jan si Ketua Kelas tak mau tertinggal, “Lebih baik tidak usah bertemu sekalian, Bu. Daripada akhirnya harus dipisahkan.” Juga mengacungkan tangannya. Sontak, seluruh kelas berseru menggoda. Dua jawaban yang saling bersaut.
Bu Wali butuh setidaknya sepuluh detik untuk menenangkan deru godaan kelas. Matanya selalu bisa menenangkan, tanpa harus membentak. Kini mata itu mengarah pada Jan si ketua kelas. Seisi kelas menutup mulut, bungkam demi melihat sorot mata Bu Wali.
“Kau yakin dengan jawabanmu, Jan?” tanya Bu Wali lebih seru.
“Tidak, Bu!” Aku yang menjawab.
Astaga. Apa yang kukatakan. Aku hanya merasa namaku dipanggil. Itu saja. Simpel bukan? Yang kulakukan hanya mendengar, tanpa melihat. Karena yang kulihat sedari tadi adalah bangku di sudut ruang kelas.
Ada yang bertanya dan menyebut namamu, lantas kau jawab saja seadanya. Tapi lagi-lagi, seisi kelas tidak menjadikan urusan ini simpel. Tanganku sudah menutup mulut, rona wajahku berubah seketika. Meski tanpa cermin, aku masih dapat membayangkan wajahku nampak seperti saat bayi salah mengunyah sambal dari mangkuk bubur.
Memoriku terhenti berputar. Pikiran beserta kesadaran kembali turun di pelataran SPBU. Nada dering panggilan dari Bang Gatra telah usai. Menyisakan laporan di layar handphone bertuliskan “1 panggilan tak terjawab”. Aku harus menepati janji.
Perlahan kukendarai motor yang baru saja diisi ulang tenaganya. Keluar dari lingkungan SPBU, masuk ke jalan raya provinsi. Melaju pelan, gontai menyadari pertemuan yang bahkan belum sebesar biji karet, sudah selesai sudah.
Belum habis rasa gontaiku, kini aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Aku baru sadar ada sesuatu yang tak wajar. Aku pikir dengan keras, apa sebenarnya yang mengganjal.
Betul saja dugaanku. Kenapa tidak terpikir sejak tadi? Astaga. Ternyata Nifa berbelok ke arah yang sama dengan jalan pulang menuju kampus. Kau tahu apa artinya itu? Aku telah membiarkan ia pergi begitu saja. Dia jelas-jelas berbelok ke arah kanan, sementara jalan pulangku ke arah yang sama. Menyesal sekali baru menyadarinya sekarang.
Segera kupacu motor Bang Gatra untuk mengejar ketertinggalanku dari Nifa. Jarak kami terhitung belasan detik sudah. Kalaulah ini persaingan Moto GP, jelas sudah tertinggal sepuluh posisi. Beda sepersekian detik saja menghasilkan jarak yang nyata. Tetapi beruntunglah, ini bukan pacuan Moto GP. Baru sekelas bebek.
Dengan lihai, aku balap dua motor di depanku, setelah sebelumnya aku pamit via klakson. Ternyata salah satu pengendaranya adalah bapak-bapak yang memboncengi istrinya di SPBU tadi. Aku hanya tersenyum singkat. Urusan di depan lebih penting ketimbang menyapa ramah bapak-bapak yang memboncengi istrinya.
Aku kembali serius dengan kemudi. Gadis berkerudung biru muda kini benar-benar terlihat, sekitar lima puluh meter di depan. Ia benar-benar mengarah ke pintu masuk universitas. Ini kesempatan.
Satu detik, dua detik.
Aku berhasil memperkecil ketertinggalan. Jarak di antara kami hanya belasan meter saja. Kami hampir sampai ke pintu gerbang universitas, dengan posisi sementara Nifa unggul 2,3 detik di depanku.
“TIIIN!” kembali kupencet tombol berlambang terompet untuk izin membalap sepeda motor di depanku.
Lima puluh meter lagi! Kami hampir sampai.
Sialnya, aku terpaksa mengurangi kecepatan. Perlahan. Semakin lamban, dan berhenti. Tepat di pertigaan gerbang universitas. Aku berhenti. Gundah. Nifa ternyata melaju terus. Sedangkan aku berada di titik puncak pilihan. Kalau aku mengikutinya lagi, maka perjalananku mengembalikan motor pasti akan berakhir. Sedangkan jika aku memilih mengembalikan motor, Nifa kian memperjauh jarak kami. Semakin jauh.
Dalam pemberhentianku, Nifa terlihat memacu matic tanpa ragu. 
Di detik-detik yang sunyi itu, sebuah suara menggetarkan celanaku. Entah itu dering yang ke berapa dari handphone. Tapi kali ini berbeda. Bukan lagunya Electric Light Orcestra, "Twillight". Karena lagu itu hanya kupakai untuk peringatan panggilan. Sedangkan kali ini musik yang berputar adalah Owl City dengan Vanilla Twillight. Nada peringatan untuk pesan.
Sebuah pesan yang hanya kuketahui pengirimnya. Malas membuka. Pesan dari Bang Gatra. Nampaknya ia tak puas dengan panggilan tanpa jawab. Sebuah pesan terkirim untuk memperingatiku lebih keras. Sebenarnya malas untuk membaca. Karena mau diperingati atau tidak, aku tetap mengembalikan motor. Ini pilihan terakhir, sebab Nifa pun telah lama menghilang di balik tikungan. Tak sempat lagi mengejar. Karenanya, tak perlu diingatkan lagi untuk pulang, aku pasti akan pulang. Pesan itu urung kubaca. Aku memilih memasuki kampus, dan meninggalkan kesempatan bertemu Nifa.
Gontai, sama seperti tadi keluar dari area SPBU. Suasana hati yang sama membuat memori masa lalu yang sempat terpotong kembali berputar. Ini masih tentang pertanyaan Bu Wali beberapa tahun lalu.
“Cukup, cukup.” Bu Wali menenangkan. Wajahku merah padam, tetap tersipu meski suara kelas telah surut kembali berkat sorot tajam Bu Wali. Sempat kulirik lagi ke sudut ruangan, gadis berkerudung putih itu bergeming, melanjutkan aktivitas membacanya. Seperti tak acuh dengan ulah bodohku.
“Dasar!” seru Nurul menceletuki ulahku. Terpergok tak konsentrasi.
“Kau, Jan. Mana yang kau pilih, bertemu tapi harus terpisah. Atau tidak usah bertemu sama sekali?” Bu Wali menatapku, ramah. Jan yang dimaksudkan kali ini benar diriku. Bu Wali mampu mengontrol suasana, seolah tak pernah terjadi apa-apa beberapa menit lalu.
“Ehm, anu...” Aku berkedip-kedip gugup. Menggaruk kepala, meski tidak gatal.
“Saya pilih...” Pandangan kelas kini tertuju padaku. Memaksa otak ini berputar dua perempat kali lebih cepat menjadi pusat perhatian.
“Saya pilih... meskipun berpisah tapi akan bertemu lagi.” Aku memasang seringai paling eksotis.
Kelas terdiam, lengang.
Sepertinya aku telah mengatakan sesuatu yang sakral. Tapi entahlah. Aku tak lagi peduli. Karena hey, lihatlah, gadis berkerudung putih yang duduk di sudut ruangan, yang tadi tak acuh justru asyik membaca, kini tersenyum.
“TIIIN!!!”
Suara klakson memutus putaran memoriku sekali lagi. Dua orang berhelm hitam, datang dari arah berlawanan. Aku menepi sesegera mungkin. Laju kendaraanku terlalu menengah, mengganggu laju kendaraan dari arah berlawanan. Beruntunglah tak terjadi apa-apa, pengendara berhelm hitam tadi telah menghilang di belakang. Aku menghela nafas lega.
Hari ini lumayan menyenangkan bukan? Aku bertemu dengan gadis dari masa lalu. Hadir dengan keteguhan hati dan keterjagaan diri. Sabar, dan jangan terlebih dulu senang. Karena aku tidak akan menceritakan seberapa cantiknya dia, karena sekali lagi, bukan hanya tidak akan cukup hanya dengan satu buku tebal. Bukan, melainkan karena bukan itu masalahnya. Kenapa dia di kota ini? Apa kabarnya selama ini? Itulah pertanyaan yang mengganjal, lebih mengganjal dari pada seberapa cantiknya gadis itu.
Astaga. Kalau boleh meminjam istilah dari Nurul, maka mungkin istilah yang tepat adalah lebai. Berharap-harap yang tidak-tidak. Mengandai-andai yang bukan-bukan.
Tak butuh waktu lama, sampailah aku di Masjid Universitas. Sekitar dua jam yang lalu, aku meminjam motor Bang Gatra disini. Murni dengan niat membeli tali karet ban, aku yakinkan Bang Gatra untuk pengisian bensin, senyum palsunya pun berbelok menjadi asli. Hah, waktu begitu cepat berlalu. Keindahan yang tak terduga sebelumnya, menghampiriku dengan begitu nyata. Antrian SPBU yang mempertemukanku dengan perempuan dari masa lalu. Antrian SPBU yang membuatku dibentak pemuda berwajah sangar. Antrian SPBU yang tak memberi kesempatan untuk sekedar membalas sapaan. Antrian SPBU benar-benar memberikan cerita berkesan padaku hari ini.
Tapi demi tertepatinya sebuah janji, aku merelakannya pergi. Tanpa satu buah pertanyaan pun yang kusampaikan. Apa kabarnya selama ini? Ada apa sampai di kota ini? Semuanya sudah mengendap, tak tertuang.
Setelah mengunci stang motor, aku bergegas menuju sekretariat untuk menemui Bang Gatra. Dua tiga langkah, cengangku tak tertahan. Di mana Bang Gatra? Di mana semua orang? Kenapa pintu terkunci? Apakah aku sudah terlambat?
Tiba-tiba aku teringat pesan singkat yang belum sempat terbaca. Buru-buru kuaktifkan kunci tombol. Satu panggilan tak terjawab dan satu pesan belum terbaca. Jempolku yang lumayan besar menekan tombol OK untuk perintah “baca”.
“Maaf Jan, tolong diamankan dulu motornya. Saya ada rapat dadakan, sekitar bada isya saya baru bisa ambil motornya. Terimakasih.” Terikirm empat menit yang lalu.
Aku mengutuki pesan itu dalam hati, menggerung kesal. Aku masih lemas. Sekuat hati membangun kepercayaan diri, menghela nafas untuk memperbaiki keadaan. Tersenyum miris. 

BERSAMBUNG

Episode Selanjutnya…

CATATAN :

1. Episode Selanjutnya tayang hari Minggu ini.

2. Jangan lupa besok Remember Dad Episode 9, hari Jumat di blog MiniNoveling ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar