Sebelumnya...
BAGIAN SEMBILAN
SMA
*
* *
We are finally here...
.
"Perkenalkan, nama saya Buaya Darat."
.
Sontak seluruh teman sekelas tertawa. Menertawakanku. Ya... aku. Kau masih belum melupakanku kan? Kau tidak akan seperti Ditta dan Mutia, kan? Yang kini benar-benar telah lupa, bahwa dulu pernah mengenal seorang Surya Dinata. Meninggalkan PR berat bagiku, untuk segera mengikuti mereka, memilih lupa.
.
Tapi tunggu dulu, Buaya Darat?
.
Tidak lucu. Sama sekali tidak lucu. Itu pemberian nama dari senior yang mengawasi kelas kami. Masing-masing mendapat jatah julukan dari senior. Ada Burung Perkutut, Macan Tutul, Singo Gendeng, Rajawali Ngepret, Wedus Gembel, sampai Bulus Gak Tau Adus. Apalah maksudnya senior ini. Tidak bermanfaat. Tidak bermartabat. Merubah nama kami seenak makan soto babat. Dasar senior lak....
.
"Hei, kenapa kau tidak tertawa?" tanya salah seorang senior yang tadi memberi instruksi untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Matanya yang songong amit-amit itu melotot padaku. Namanya Andri Wicaksono. Badannya tinggi besar, kulit sawo diperam tujuh bulan. Kelewat matang.
.
"Tidak ada yang lucu, Bang. Jadi saya tidak tertawa," kataku datar. Toh memang tidak ada yang lucu kan?
.
"Lalu kenapa teman-temanmu tertawa kalau tidak lucu, hah? Kau pikir mereka semua gila? Iya?" Senior itu meninggikan suara. Mencoba menguasai suasana. Jih, menyebalkan sekali senior satu ini, pikirku. Ada lima senior yang ditugaskan untuk masing-masing kelas. Yang empat kalem-kalem saja. Cuma satu inilah yang sengak.
.
"Saya tidak bilang begitu Bang. Bagi saya ini tidak lucu."
.
"Wah. Berani sekali adik kita satu ini. Bagaimana ini, Intan? Kau ajarilah dia tatakrama." Bang Andri berbicara kepada salah satu rekan seniornya. Mbak Intan. Senior favorit kami. Kalem, mengayomi. Wajahnya tidak asing bagiku. Seperti pernah bertemu. Dan untunglah ada oase macam beliau di tengah-tengah kegersangan acara senioritas ini.
.
"Kok aku?"
.
"Kasihlah dia hukuman. Biar bisa belajar lebih sopan sama kita-kita. Kau belum pernah kasih hukuman kan? Nah, Buaya Darat ini jatahmu."
.
Aku bisa melihat sosok anggun bijak dari sorot matanya. Intan Suryaningsih. Begitu tulisan di bordir seragam putihnya. Aku bisa membacanya dengan jelas saat ia mendekatiku.
.
"Ayo sini, Dek. Ikut Mbak." Tiba-tiba tanganku ditarik. Kami melangkah keluar.
.
"Saya mau diapakan, Mbak? Saya kan tidak salah apa-apa? Saya hanya menjawab jujur..."
.
"Sudah, diam saja. Nggak diapa-apain kok. Kita ke UKS saja."
.
Aku hanya berjalan mengikuti dari belakang. Ada badge lambang PMR (Palang Merah Remaja) di lengan bajunya. Mungkin dia salah satu pengurus bidang kesehatan di OSIS. Mungkin. Tapi siapa yang sakit? Apakah hukuman yang dimaksud itu harus disun... Oh no! Tidak... tidak... Aku harus bergegas pergi. Tapi bagaimanalah. Tanganku masih ditarik.
.
Ruang UKS tidak terlalu jauh dari kelas kami. Hanya lima puluh meter, dan sampai. Aroma obat-obatan segera merasuk ke indra penciumanku setibanya di sana. Ada beberapa orang di sana. Kebanyakan siswi yang jatuh saat mengikuti upacara pembukaan MOS pagi tadi.
.
"Saya tidak sakit, Mbak."
.
Mbak Intan tertawa kecil. Lantas duduk di salah satu kursi pengurus PMR. Aku mencari tempat duduk lain di ruang tunggu.
.
"Kamu bakal sakit, Surya, kalau tetap di kelas." Mbak Intan memberi senyum ala-ala perawat.
.
"Mbak kenal saya?"
.
"Jadi kamu lupa Sur, sama Mbakmu ini?"
.
Aku mengernyitkan dahi.
.
"Dasar nggak tahu balas budi! Aku dulu yang mengurus Ditta di UKS. Waktu dia pingsan." Mbak Intan kembali tertawa.
.
Deg. Seperti hujan yang tiba-tiba saja mengguyur deras. Ingatan itu kembali berputar di otakku. Kenangan yang sekarang sedang dalam PR untuk dilupakan. Apa dia bilang? Jadi, dia regu UKS yang dulu? Kalau tidak salah, memang ada seseorang yang menunggui Ditta. Sampai tiba waktu istirahat, saat aku menjenguk. Mungkin saat itulah, kami pernah bertemu. Dia senior di SMP, dua tingkat di atasku.
.
"Lucu sekali kalian. Dasar anak-anak!" Mbak Intan untuk kesekian kalinya tertawa kecil.
.
"Eh. hehe. Maaf, bukannya lupa Mbak. Cuma tidak ingat saja. Tapi tadi aku pikir juga tidak asing lagi. Dulu Mbak kan rambutnya panjang, sekarang udah berjilbab." Aku menyeringai.
.
Mbak Intan tersenyum.
.
"Ditta memang lucu. Aneh, tapi lucu. Selama di UKS, dia cerita banyak ke Mbak. Duh, berani sekali kamu Sur... Sur. Sampai pingsan anak manis itu."
.
"Jadi bagaimana ceritanya sama Ditta? Apa kabar dia sekarang?"
.
.
Deg.
Suasana lengang. Aku diam tak menjawab. Tidak ada yang bisa dijawab. Aku sudah kehilangannya. Dia pergi, betul-betul menjauh. Setelah lulus, dia mendaftar di SMA ibukota provinsi. Tinggal bersama paman di sana. Aku tidak tahu pasti kabarnya setelah itu. Aku ingin tahu. Tapi tidak cukup berani mencari tahu.
.
"Nggak tahu, Mbak. Kami sudah tidak bertemu lagi setelah UAN. Perpisahan dan pengumuman juga diwakilkan. Dia kursus di ibukota untuk bisa diterima di SMA favorit."
.
Ditta. Apa kabarmu sekarang? Mbak Intan menanyakan keadaanmu. Masih ingat dia tidak? Aku juga hampir lupa kalau tidak diingatkan. Dia yang sudah menemanimu di ruang UKS dulu. Waktu insiden upacara bendera. Waktu aku menyatakan rasa suka. Waktu yang sekarang dengan berat hati ingin kulupa.
.
"Perkenalkan, nama saya Buaya Darat."
.
Sontak seluruh teman sekelas tertawa. Menertawakanku. Ya... aku. Kau masih belum melupakanku kan? Kau tidak akan seperti Ditta dan Mutia, kan? Yang kini benar-benar telah lupa, bahwa dulu pernah mengenal seorang Surya Dinata. Meninggalkan PR berat bagiku, untuk segera mengikuti mereka, memilih lupa.
.
Tapi tunggu dulu, Buaya Darat?
.
Tidak lucu. Sama sekali tidak lucu. Itu pemberian nama dari senior yang mengawasi kelas kami. Masing-masing mendapat jatah julukan dari senior. Ada Burung Perkutut, Macan Tutul, Singo Gendeng, Rajawali Ngepret, Wedus Gembel, sampai Bulus Gak Tau Adus. Apalah maksudnya senior ini. Tidak bermanfaat. Tidak bermartabat. Merubah nama kami seenak makan soto babat. Dasar senior lak....
.
"Hei, kenapa kau tidak tertawa?" tanya salah seorang senior yang tadi memberi instruksi untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Matanya yang songong amit-amit itu melotot padaku. Namanya Andri Wicaksono. Badannya tinggi besar, kulit sawo diperam tujuh bulan. Kelewat matang.
.
"Tidak ada yang lucu, Bang. Jadi saya tidak tertawa," kataku datar. Toh memang tidak ada yang lucu kan?
.
"Lalu kenapa teman-temanmu tertawa kalau tidak lucu, hah? Kau pikir mereka semua gila? Iya?" Senior itu meninggikan suara. Mencoba menguasai suasana. Jih, menyebalkan sekali senior satu ini, pikirku. Ada lima senior yang ditugaskan untuk masing-masing kelas. Yang empat kalem-kalem saja. Cuma satu inilah yang sengak.
.
"Saya tidak bilang begitu Bang. Bagi saya ini tidak lucu."
.
"Wah. Berani sekali adik kita satu ini. Bagaimana ini, Intan? Kau ajarilah dia tatakrama." Bang Andri berbicara kepada salah satu rekan seniornya. Mbak Intan. Senior favorit kami. Kalem, mengayomi. Wajahnya tidak asing bagiku. Seperti pernah bertemu. Dan untunglah ada oase macam beliau di tengah-tengah kegersangan acara senioritas ini.
.
"Kok aku?"
.
"Kasihlah dia hukuman. Biar bisa belajar lebih sopan sama kita-kita. Kau belum pernah kasih hukuman kan? Nah, Buaya Darat ini jatahmu."
.
Aku bisa melihat sosok anggun bijak dari sorot matanya. Intan Suryaningsih. Begitu tulisan di bordir seragam putihnya. Aku bisa membacanya dengan jelas saat ia mendekatiku.
.
"Ayo sini, Dek. Ikut Mbak." Tiba-tiba tanganku ditarik. Kami melangkah keluar.
.
"Saya mau diapakan, Mbak? Saya kan tidak salah apa-apa? Saya hanya menjawab jujur..."
.
"Sudah, diam saja. Nggak diapa-apain kok. Kita ke UKS saja."
.
Aku hanya berjalan mengikuti dari belakang. Ada badge lambang PMR (Palang Merah Remaja) di lengan bajunya. Mungkin dia salah satu pengurus bidang kesehatan di OSIS. Mungkin. Tapi siapa yang sakit? Apakah hukuman yang dimaksud itu harus disun... Oh no! Tidak... tidak... Aku harus bergegas pergi. Tapi bagaimanalah. Tanganku masih ditarik.
.
Ruang UKS tidak terlalu jauh dari kelas kami. Hanya lima puluh meter, dan sampai. Aroma obat-obatan segera merasuk ke indra penciumanku setibanya di sana. Ada beberapa orang di sana. Kebanyakan siswi yang jatuh saat mengikuti upacara pembukaan MOS pagi tadi.
.
"Saya tidak sakit, Mbak."
.
Mbak Intan tertawa kecil. Lantas duduk di salah satu kursi pengurus PMR. Aku mencari tempat duduk lain di ruang tunggu.
.
"Kamu bakal sakit, Surya, kalau tetap di kelas." Mbak Intan memberi senyum ala-ala perawat.
.
"Mbak kenal saya?"
.
"Jadi kamu lupa Sur, sama Mbakmu ini?"
.
Aku mengernyitkan dahi.
.
"Dasar nggak tahu balas budi! Aku dulu yang mengurus Ditta di UKS. Waktu dia pingsan." Mbak Intan kembali tertawa.
.
Deg. Seperti hujan yang tiba-tiba saja mengguyur deras. Ingatan itu kembali berputar di otakku. Kenangan yang sekarang sedang dalam PR untuk dilupakan. Apa dia bilang? Jadi, dia regu UKS yang dulu? Kalau tidak salah, memang ada seseorang yang menunggui Ditta. Sampai tiba waktu istirahat, saat aku menjenguk. Mungkin saat itulah, kami pernah bertemu. Dia senior di SMP, dua tingkat di atasku.
.
"Lucu sekali kalian. Dasar anak-anak!" Mbak Intan untuk kesekian kalinya tertawa kecil.
.
"Eh. hehe. Maaf, bukannya lupa Mbak. Cuma tidak ingat saja. Tapi tadi aku pikir juga tidak asing lagi. Dulu Mbak kan rambutnya panjang, sekarang udah berjilbab." Aku menyeringai.
.
Mbak Intan tersenyum.
.
"Ditta memang lucu. Aneh, tapi lucu. Selama di UKS, dia cerita banyak ke Mbak. Duh, berani sekali kamu Sur... Sur. Sampai pingsan anak manis itu."
.
"Jadi bagaimana ceritanya sama Ditta? Apa kabar dia sekarang?"
.
.
Deg.
Suasana lengang. Aku diam tak menjawab. Tidak ada yang bisa dijawab. Aku sudah kehilangannya. Dia pergi, betul-betul menjauh. Setelah lulus, dia mendaftar di SMA ibukota provinsi. Tinggal bersama paman di sana. Aku tidak tahu pasti kabarnya setelah itu. Aku ingin tahu. Tapi tidak cukup berani mencari tahu.
.
"Nggak tahu, Mbak. Kami sudah tidak bertemu lagi setelah UAN. Perpisahan dan pengumuman juga diwakilkan. Dia kursus di ibukota untuk bisa diterima di SMA favorit."
.
Ditta. Apa kabarmu sekarang? Mbak Intan menanyakan keadaanmu. Masih ingat dia tidak? Aku juga hampir lupa kalau tidak diingatkan. Dia yang sudah menemanimu di ruang UKS dulu. Waktu insiden upacara bendera. Waktu aku menyatakan rasa suka. Waktu yang sekarang dengan berat hati ingin kulupa.
BAGIAN SEPULUH
Resep Move On dari Pengurus PMR
*
* *
Hari yang cerah. Seminggu setelah MOS
sangat cerah. Maksudku, langitnya, juga suasananya. Kalau pas lagi MOS, secerah
apapun langitnya, tetap mendunglah suasana. Gemuruh, petir, malah badai datang
seiring kedatangan Andri 'Songong' Wicaksono. Untunglah ada pelangi bernama
Intan. Duh, jangan salah sangka dulu ya. Dia kakak yang baik, mengayomi.
Menyelamatkanku dari hukuman senior dengan membawa ke UKS. Setiap hari! Ya,
setiap hari selama MOS, perawat itu menculikku ke sana. Alasannya? Aku sedang
sakit. Bukan aku kok yang berbohong. Mbak Intan sendiri. Itu hari kedua, waktu
Bang Andri mau menguji 'tatakrama'ku. Sebelum sempat dihukum, dikerjai, atau
diusili, dengan sigap Mbak Intan membawaku. Apa yang dia bilang?
.
"Adikku ini masih sakit. Harus ke UKS."
.
"Ah, kau Intan. Mana mungkin anak ini sakit. Kau pilih kasih sekali dengan... Buaya Darat ini? " protes Bang Andri.
.
"Heh, dia adikku ya. Jangan macam-macam." Mbak Intan sudah menarik lengan kiriku, melangkah ke UKS. Kalau saja Bang Andri tidak melotot kepadaku, sudah kujulurkan lidah. Yey! Queen save the Mario. Yah, gak papalah terbalik. Sesekali.
.
Di ruang UKS, Mbak Intan lagi-lagi memberondongku dengan pertanyaan. Tentang Ditta, bagaimana hubunganku selanjutnya, siapa saja yang sudah merusak hubungan kami? Bagaimana bisa dia menjauh. Alamak, ini namanya mengorek luka lama. Aku yang sudah sekuat hati berusaha melupa. Tapi kini harus kuingat lagi, kuceritakan kata per kata. Kalau seperti ini caranya, aku benar-benar sakit di UKS.
.
"Siapa Mutiara?" tanya Mbak Intan saat ceritaku sampai di kelas sembilan. Entahlah, kenapa dia begitu antusias mendengar ceritaku. Apa menariknya sih? Bukankah ada banyak cerita lain? Cerita tentang diri kita sendiri, mungkin. Kadang malah lebih menarik untuk dinikmati, dijalani, atau sekadar untuk dikenang. Tapi kenapalah pengurus PMR ini tertarik sekali dengan ceritaku.
.
"Dia anak baru Mbak. Pindah ke sekolah kita di tahun ketiga. Jadi Mbak udah lulus. Dia ikut ayahnya pindah tugas."
.
Aku menghela nafas sejenak. Mengingat dirinya sama pedihnya. Membuka penyesalan lama. Menyesal tidak begitu peka dengan perasaan. Menyesal tidak bisa menemuinya sebelum berakat. Menyesal... menyesal.
.
"Lebih cantik mana, Ditta atau Mutiara?" Mbak Intan tersenyum, menggodaku.
.
"Eh... Anu. Kok tanya begitu." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
.
"Hayoh, yang mana?"
.
"Aduh, nggak tahu Mbak. Bingung."
.
"Halah. Dasar! Aku panggil Andri ini ya. Adikku ini sudah sehat."
.
"E.. eh. Jangan Mbak. Aku sakit ini. Beneran sakit, gara-gara cerita lagi soal mereka."
.
"Hmm, kalau masih mau di sini. Ya cerita."
.
Aku mendengus sebal. Syarat macam apa itu. Ah sudahlah. Toh sudah telanjur kuceritakan banyak hal. Hitung-hitung sekalian konsultasi dengan perawat ini. Siapa tahu Mbak Intan punya resep untuk menyembuhkan lukaku.
.
Ditta atau Mutiara Citra Kirana? Mana yang lebih cantik?
.
Kalau sekadar memakai kacamata biasa, jawabannya adalah Mutia. Seperti yang pernah kujelaskan dulu. Dia ibarat kecantikan tiga orang sekaligus.
.
Ditta? Dia mungkin memiliki 1 tingkat saja. Tapi senyumannya bisa mengalahkan tiga puluh tiga orang sekaligus.
.
Jadi, pertanyaannya bukan siapa yang lebih cantik. Tapi siapa yang telah memenangkan hatiku?
.
Aku mengeluh resah. Untuk pertanyaan itu, aku benar-benar tidak tahu jawabannya. Mungkin, karena keduanya memang tidak memenangkan. Sebaliknya, mengalahkan. Aku kalah. Kalah dengan semua keteguhan mereka. Aku kalah, dan menyerah.
.
"Sekarang aku yang bertanya, Mbak."
.
"Eh, kok gitu?" Mbak Intan kaget.
.
"Kan saya masih sakit. Perlulah resep ajaib untuk menangani penyakit saya ini."
.
"Halah... sakit apa kamu. Yang ada justru kamu udah membuat sakit adik manisku itu."
.
"Ayolah Mbak. Saya harus memulai kehidupan baru di sini. Saya tidak bisa terus-terusan meratapi masa lalu. Saya harus move on!"
.
Mbak Intan tertawa mendengarnya. Lantas dengan lambaian tangan, menjawab ringan, "Jangan lebay deh."
.
Haaah. Aku menghela nafas berat. Percuma. Percuma. Mungkin benar kata pujangga, biar waktu menjadi obatnya.
.
"Aku harus kembali ke kelas, Sur. Kamu kalau mau ke sana, ayo sekalian. Kalau masih sakit, di sini saja." Mbak Intan tertawa, lantas beranjak dari kursi khusus pengurus.
.
"Jadi beneran nggak ada resepnya, Mbak? Kasihlah saran, atau apa?"
.
Mbak Intan berhenti melangkah. Membalikkan arah padaku, dan memasang wajah seriusnya.
.
"Jangan jatuh cinta! Sebisa mungkin jangan jatuh cinta! Kau akan tahu kata-kata ini begitu berarti setelah hati tersayat ulah cinta tak seindah dugaan pertama."
.
"Adikku ini masih sakit. Harus ke UKS."
.
"Ah, kau Intan. Mana mungkin anak ini sakit. Kau pilih kasih sekali dengan... Buaya Darat ini? " protes Bang Andri.
.
"Heh, dia adikku ya. Jangan macam-macam." Mbak Intan sudah menarik lengan kiriku, melangkah ke UKS. Kalau saja Bang Andri tidak melotot kepadaku, sudah kujulurkan lidah. Yey! Queen save the Mario. Yah, gak papalah terbalik. Sesekali.
.
Di ruang UKS, Mbak Intan lagi-lagi memberondongku dengan pertanyaan. Tentang Ditta, bagaimana hubunganku selanjutnya, siapa saja yang sudah merusak hubungan kami? Bagaimana bisa dia menjauh. Alamak, ini namanya mengorek luka lama. Aku yang sudah sekuat hati berusaha melupa. Tapi kini harus kuingat lagi, kuceritakan kata per kata. Kalau seperti ini caranya, aku benar-benar sakit di UKS.
.
"Siapa Mutiara?" tanya Mbak Intan saat ceritaku sampai di kelas sembilan. Entahlah, kenapa dia begitu antusias mendengar ceritaku. Apa menariknya sih? Bukankah ada banyak cerita lain? Cerita tentang diri kita sendiri, mungkin. Kadang malah lebih menarik untuk dinikmati, dijalani, atau sekadar untuk dikenang. Tapi kenapalah pengurus PMR ini tertarik sekali dengan ceritaku.
.
"Dia anak baru Mbak. Pindah ke sekolah kita di tahun ketiga. Jadi Mbak udah lulus. Dia ikut ayahnya pindah tugas."
.
Aku menghela nafas sejenak. Mengingat dirinya sama pedihnya. Membuka penyesalan lama. Menyesal tidak begitu peka dengan perasaan. Menyesal tidak bisa menemuinya sebelum berakat. Menyesal... menyesal.
.
"Lebih cantik mana, Ditta atau Mutiara?" Mbak Intan tersenyum, menggodaku.
.
"Eh... Anu. Kok tanya begitu." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
.
"Hayoh, yang mana?"
.
"Aduh, nggak tahu Mbak. Bingung."
.
"Halah. Dasar! Aku panggil Andri ini ya. Adikku ini sudah sehat."
.
"E.. eh. Jangan Mbak. Aku sakit ini. Beneran sakit, gara-gara cerita lagi soal mereka."
.
"Hmm, kalau masih mau di sini. Ya cerita."
.
Aku mendengus sebal. Syarat macam apa itu. Ah sudahlah. Toh sudah telanjur kuceritakan banyak hal. Hitung-hitung sekalian konsultasi dengan perawat ini. Siapa tahu Mbak Intan punya resep untuk menyembuhkan lukaku.
.
Ditta atau Mutiara Citra Kirana? Mana yang lebih cantik?
.
Kalau sekadar memakai kacamata biasa, jawabannya adalah Mutia. Seperti yang pernah kujelaskan dulu. Dia ibarat kecantikan tiga orang sekaligus.
.
Ditta? Dia mungkin memiliki 1 tingkat saja. Tapi senyumannya bisa mengalahkan tiga puluh tiga orang sekaligus.
.
Jadi, pertanyaannya bukan siapa yang lebih cantik. Tapi siapa yang telah memenangkan hatiku?
.
Aku mengeluh resah. Untuk pertanyaan itu, aku benar-benar tidak tahu jawabannya. Mungkin, karena keduanya memang tidak memenangkan. Sebaliknya, mengalahkan. Aku kalah. Kalah dengan semua keteguhan mereka. Aku kalah, dan menyerah.
.
"Sekarang aku yang bertanya, Mbak."
.
"Eh, kok gitu?" Mbak Intan kaget.
.
"Kan saya masih sakit. Perlulah resep ajaib untuk menangani penyakit saya ini."
.
"Halah... sakit apa kamu. Yang ada justru kamu udah membuat sakit adik manisku itu."
.
"Ayolah Mbak. Saya harus memulai kehidupan baru di sini. Saya tidak bisa terus-terusan meratapi masa lalu. Saya harus move on!"
.
Mbak Intan tertawa mendengarnya. Lantas dengan lambaian tangan, menjawab ringan, "Jangan lebay deh."
.
Haaah. Aku menghela nafas berat. Percuma. Percuma. Mungkin benar kata pujangga, biar waktu menjadi obatnya.
.
"Aku harus kembali ke kelas, Sur. Kamu kalau mau ke sana, ayo sekalian. Kalau masih sakit, di sini saja." Mbak Intan tertawa, lantas beranjak dari kursi khusus pengurus.
.
"Jadi beneran nggak ada resepnya, Mbak? Kasihlah saran, atau apa?"
.
Mbak Intan berhenti melangkah. Membalikkan arah padaku, dan memasang wajah seriusnya.
.
"Jangan jatuh cinta! Sebisa mungkin jangan jatuh cinta! Kau akan tahu kata-kata ini begitu berarti setelah hati tersayat ulah cinta tak seindah dugaan pertama."
BERSAMBUNG
Episode Selanjutnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar