Rabu, 29 Juni 2016

[Cerbung] DIA (Serial Cinta) - Episode 9-10




Sebelumnya...

BAGIAN SEMBILAN

SMA

* * *
We are finally here...
.
"Perkenalkan, nama saya Buaya Darat."
.
Sontak seluruh teman sekelas tertawa. Menertawakanku. Ya... aku. Kau masih belum melupakanku kan? Kau tidak akan seperti Ditta dan Mutia, kan? Yang kini benar-benar telah lupa, bahwa dulu pernah mengenal seorang Surya Dinata. Meninggalkan PR berat bagiku, untuk segera mengikuti mereka, memilih lupa.
.
Tapi tunggu dulu, Buaya Darat?
.
Tidak lucu. Sama sekali tidak lucu. Itu pemberian nama dari senior yang mengawasi kelas kami. Masing-masing mendapat jatah julukan dari senior. Ada Burung Perkutut, Macan Tutul, Singo Gendeng, Rajawali Ngepret, Wedus Gembel, sampai Bulus Gak Tau Adus. Apalah maksudnya senior ini. Tidak bermanfaat. Tidak bermartabat. Merubah nama kami seenak makan soto babat. Dasar senior lak....
.
"Hei, kenapa kau tidak tertawa?" tanya salah seorang senior yang tadi memberi instruksi untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Matanya yang songong amit-amit itu melotot padaku. Namanya Andri Wicaksono. Badannya tinggi besar, kulit sawo diperam tujuh bulan. Kelewat matang.
.
"Tidak ada yang lucu, Bang. Jadi saya tidak tertawa," kataku datar. Toh memang tidak ada yang lucu kan?
.
"Lalu kenapa teman-temanmu tertawa kalau tidak lucu, hah? Kau pikir mereka semua gila? Iya?" Senior itu meninggikan suara. Mencoba menguasai suasana. Jih, menyebalkan sekali senior satu ini, pikirku. Ada lima senior yang ditugaskan untuk masing-masing kelas. Yang empat kalem-kalem saja. Cuma satu inilah yang sengak.
.
"Saya tidak bilang begitu Bang. Bagi saya ini tidak lucu."
.
"Wah. Berani sekali adik kita satu ini. Bagaimana ini, Intan? Kau ajarilah dia tatakrama." Bang Andri berbicara kepada salah satu rekan seniornya. Mbak Intan. Senior favorit kami. Kalem, mengayomi. Wajahnya tidak asing bagiku. Seperti pernah bertemu. Dan untunglah ada oase macam beliau di tengah-tengah kegersangan acara senioritas ini.
.
"Kok aku?"
.
"Kasihlah dia hukuman. Biar bisa belajar lebih sopan sama kita-kita. Kau belum pernah kasih hukuman kan? Nah, Buaya Darat ini jatahmu."
.
Aku bisa melihat sosok anggun bijak dari sorot matanya. Intan Suryaningsih. Begitu tulisan di bordir seragam putihnya. Aku bisa membacanya dengan jelas saat ia mendekatiku.
.
"Ayo sini, Dek. Ikut Mbak." Tiba-tiba tanganku ditarik. Kami melangkah keluar.
.
"Saya mau diapakan, Mbak? Saya kan tidak salah apa-apa? Saya hanya menjawab jujur..."
.
"Sudah, diam saja. Nggak diapa-apain kok. Kita ke UKS saja."
.
Aku hanya berjalan mengikuti dari belakang. Ada badge lambang PMR (Palang Merah Remaja) di lengan bajunya. Mungkin dia salah satu pengurus bidang kesehatan di OSIS. Mungkin. Tapi siapa yang sakit? Apakah hukuman yang dimaksud itu harus disun... Oh no! Tidak... tidak... Aku harus bergegas pergi. Tapi bagaimanalah. Tanganku masih ditarik.
.
Ruang UKS tidak terlalu jauh dari kelas kami. Hanya lima puluh meter, dan sampai. Aroma obat-obatan segera merasuk ke indra penciumanku setibanya di sana. Ada beberapa orang di sana. Kebanyakan siswi yang jatuh saat mengikuti upacara pembukaan MOS pagi tadi.
.
"Saya tidak sakit, Mbak."
.
Mbak Intan tertawa kecil. Lantas duduk di salah satu kursi pengurus PMR. Aku mencari tempat duduk lain di ruang tunggu.
.
"Kamu bakal sakit, Surya, kalau tetap di kelas." Mbak Intan memberi senyum ala-ala perawat.
.
"Mbak kenal saya?"
.
"Jadi kamu lupa Sur, sama Mbakmu ini?"
.
Aku mengernyitkan dahi.
.
"Dasar nggak tahu balas budi! Aku dulu yang mengurus Ditta di UKS. Waktu dia pingsan." Mbak Intan kembali tertawa.
.
Deg. Seperti hujan yang tiba-tiba saja mengguyur deras. Ingatan itu kembali berputar di otakku. Kenangan yang sekarang sedang dalam PR untuk dilupakan. Apa dia bilang? Jadi, dia regu UKS yang dulu? Kalau tidak salah, memang ada seseorang yang menunggui Ditta. Sampai tiba waktu istirahat, saat aku menjenguk. Mungkin saat itulah, kami pernah bertemu. Dia senior di SMP, dua tingkat di atasku.
.
"Lucu sekali kalian. Dasar anak-anak!" Mbak Intan untuk kesekian kalinya tertawa kecil.
.
"Eh. hehe. Maaf, bukannya lupa Mbak. Cuma tidak ingat saja. Tapi tadi aku pikir juga tidak asing lagi. Dulu Mbak kan rambutnya panjang, sekarang udah berjilbab." Aku menyeringai.
.
Mbak Intan tersenyum.
.
"Ditta memang lucu. Aneh, tapi lucu. Selama di UKS, dia cerita banyak ke Mbak. Duh, berani sekali kamu Sur... Sur. Sampai pingsan anak manis itu."
.
"Jadi bagaimana ceritanya sama Ditta? Apa kabar dia sekarang?"
.
.
Deg.
Suasana lengang. Aku diam tak menjawab. Tidak ada yang bisa dijawab. Aku sudah kehilangannya. Dia pergi, betul-betul menjauh. Setelah lulus, dia mendaftar di SMA ibukota provinsi. Tinggal bersama paman di sana. Aku tidak tahu pasti kabarnya setelah itu. Aku ingin tahu. Tapi tidak cukup berani mencari tahu.
.
"Nggak tahu, Mbak. Kami sudah tidak bertemu lagi setelah UAN. Perpisahan dan pengumuman juga diwakilkan. Dia kursus di ibukota untuk bisa diterima di SMA favorit."
.
Ditta. Apa kabarmu sekarang? Mbak Intan menanyakan keadaanmu. Masih ingat dia tidak? Aku juga hampir lupa kalau tidak diingatkan. Dia yang sudah menemanimu di ruang UKS dulu. Waktu insiden upacara bendera. Waktu aku menyatakan rasa suka. Waktu yang sekarang dengan berat hati ingin kulupa.

BAGIAN SEPULUH

Resep Move On dari Pengurus PMR

* * *

Hari yang cerah. Seminggu setelah MOS sangat cerah. Maksudku, langitnya, juga suasananya. Kalau pas lagi MOS, secerah apapun langitnya, tetap mendunglah suasana. Gemuruh, petir, malah badai datang seiring kedatangan Andri 'Songong' Wicaksono. Untunglah ada pelangi bernama Intan. Duh, jangan salah sangka dulu ya. Dia kakak yang baik, mengayomi. Menyelamatkanku dari hukuman senior dengan membawa ke UKS. Setiap hari! Ya, setiap hari selama MOS, perawat itu menculikku ke sana. Alasannya? Aku sedang sakit. Bukan aku kok yang berbohong. Mbak Intan sendiri. Itu hari kedua, waktu Bang Andri mau menguji 'tatakrama'ku. Sebelum sempat dihukum, dikerjai, atau diusili, dengan sigap Mbak Intan membawaku. Apa yang dia bilang?
.
"Adikku ini masih sakit. Harus ke UKS."
.
"Ah, kau Intan. Mana mungkin anak ini sakit. Kau pilih kasih sekali dengan... Buaya Darat ini? " protes Bang Andri.
.
"Heh, dia adikku ya. Jangan macam-macam." Mbak Intan sudah menarik lengan kiriku, melangkah ke UKS. Kalau saja Bang Andri tidak melotot kepadaku, sudah kujulurkan lidah. Yey! Queen save the Mario. Yah, gak papalah terbalik. Sesekali.
.
Di ruang UKS, Mbak Intan lagi-lagi memberondongku dengan pertanyaan. Tentang Ditta, bagaimana hubunganku selanjutnya, siapa saja yang sudah merusak hubungan kami? Bagaimana bisa dia menjauh. Alamak, ini namanya mengorek luka lama. Aku yang sudah sekuat hati berusaha melupa. Tapi kini harus kuingat lagi, kuceritakan kata per kata. Kalau seperti ini caranya, aku benar-benar sakit di UKS.
.
"Siapa Mutiara?" tanya Mbak Intan saat ceritaku sampai di kelas sembilan. Entahlah, kenapa dia begitu antusias mendengar ceritaku. Apa menariknya sih? Bukankah ada banyak cerita lain? Cerita tentang diri kita sendiri, mungkin. Kadang malah lebih menarik untuk dinikmati, dijalani, atau sekadar untuk dikenang. Tapi kenapalah pengurus PMR ini tertarik sekali dengan ceritaku.
.
"Dia anak baru Mbak. Pindah ke sekolah kita di tahun ketiga. Jadi Mbak udah lulus. Dia ikut ayahnya pindah tugas."
.
Aku menghela nafas sejenak. Mengingat dirinya sama pedihnya. Membuka penyesalan lama. Menyesal tidak begitu peka dengan perasaan. Menyesal tidak bisa menemuinya sebelum berakat. Menyesal... menyesal.
.
"Lebih cantik mana, Ditta atau Mutiara?" Mbak Intan tersenyum, menggodaku.
.
"Eh... Anu. Kok tanya begitu." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
.
"Hayoh, yang mana?"
.
"Aduh, nggak tahu Mbak. Bingung."
.
"Halah. Dasar! Aku panggil Andri ini ya. Adikku ini sudah sehat."
.
"E.. eh. Jangan Mbak. Aku sakit ini. Beneran sakit, gara-gara cerita lagi soal mereka."
.
"Hmm, kalau masih mau di sini. Ya cerita."
.
Aku mendengus sebal. Syarat macam apa itu. Ah sudahlah. Toh sudah telanjur kuceritakan banyak hal. Hitung-hitung sekalian konsultasi dengan perawat ini. Siapa tahu Mbak Intan punya resep untuk menyembuhkan lukaku.
.
Ditta atau Mutiara Citra Kirana? Mana yang lebih cantik?
.
Kalau sekadar memakai kacamata biasa, jawabannya adalah Mutia. Seperti yang pernah kujelaskan dulu. Dia ibarat kecantikan tiga orang sekaligus.
.
Ditta? Dia mungkin memiliki 1 tingkat saja. Tapi senyumannya bisa mengalahkan tiga puluh tiga orang sekaligus.
.
Jadi, pertanyaannya bukan siapa yang lebih cantik. Tapi siapa yang telah memenangkan hatiku?
.
Aku mengeluh resah. Untuk pertanyaan itu, aku benar-benar tidak tahu jawabannya. Mungkin, karena keduanya memang tidak memenangkan. Sebaliknya, mengalahkan. Aku kalah. Kalah dengan semua keteguhan mereka. Aku kalah, dan menyerah.
.
"Sekarang aku yang bertanya, Mbak."
.
"Eh, kok gitu?" Mbak Intan kaget.
.
"Kan saya masih sakit. Perlulah resep ajaib untuk menangani penyakit saya ini."
.
"Halah... sakit apa kamu. Yang ada justru kamu udah membuat sakit adik manisku itu."
.
"Ayolah Mbak. Saya harus memulai kehidupan baru di sini. Saya tidak bisa terus-terusan meratapi masa lalu. Saya harus move on!"
.
Mbak Intan tertawa mendengarnya. Lantas dengan lambaian tangan, menjawab ringan, "Jangan lebay deh."
.
Haaah. Aku menghela nafas berat. Percuma. Percuma. Mungkin benar kata pujangga, biar waktu menjadi obatnya.
.
"Aku harus kembali ke kelas, Sur. Kamu kalau mau ke sana, ayo sekalian. Kalau masih sakit, di sini saja." Mbak Intan tertawa, lantas beranjak dari kursi khusus pengurus.
.
"Jadi beneran nggak ada resepnya, Mbak? Kasihlah saran, atau apa?"
.
Mbak Intan berhenti melangkah. Membalikkan arah padaku, dan memasang wajah seriusnya.
.
"Jangan jatuh cinta! Sebisa mungkin jangan jatuh cinta! Kau akan tahu kata-kata ini begitu berarti setelah hati tersayat ulah cinta tak seindah dugaan pertama."

BERSAMBUNG

Episode Selanjutnya...




Selasa, 28 Juni 2016

[Cerbung] DIA (Serial Cinta) - Episode 7-8





BAGIAN TUJUH

Harapan Ditta

* * *

Namaku Surya. Surya Dinata. Hari ini rasanya perlu aku kenalkan kembali, karena ada sesuatu yang spesial. Hampir setiap hari aku menuliskan nama lengkap di lembaran-lembaran kertas selama tiga hari terakhir. Melelahkan. Terlebih ketika harus menghitamkan lingkaran alphabet dengan sempurna. Apalagi kalau bukan Ujian Akhir Nasional. Waktu begitu cepat berlalu ya. Bukankah baru kemarin aku bertemu Mutia, dan sekarang sudah menjalani ujian hari terakhir? Hei, kalau dipikir-pikir seperti itu, rasanya juga baru kemarin aku lulus SD. Baru kemarin ayah meninggal. Baru kemarin aku belajar sepeda. Baru kemarin... baru kemarin. Pun ketika usia kita sudah terhitung puluhan tahun, rasa-rasanya kita juga baru kemarin terlahir. Waktu memang misteri. Always be mysteri. Yesterday is mystery, today also mystery, and tomorrow, full of mystery.
.
Begitu juga waktu yang kulalui di kelas sembilan ini. Penuh misteri. Misteri pertama, kenapa waktu begitu cepat berlalu? Aku selalu ingin, saat kami sekelas tertawa riang, bernyanyi bersama, adalah momen yang akan terus terulang. Tak pernah hilang. Tak pernah ada kata selesai. Tapi tidak bisa. Misal pagi ini aku berkumpul dengan mereka, Aji, Tompi, Tutik, dan teman-teman spesial lain, pasti dalam hitungan jam kebersamaan ini harus tercerai. Berpisah, kembali kepada kehidupan masing-masing. Besoknya begitu juga. Sampai nanti, ketika tidak ada lagi kesempatan untuk berkumpul, bernyanyi, dan bercanda ria. Duh, waktu. Ingin rasanya aku menghentikanmu. Tepat ketika kelas ini terisi tawa ria. Saat kami berkumpul dalam indahnya suasana. Ingin sekali di saat seperti itu, aku menghentikanmu. Memaksa matahari untuk tinggal diam di tempatnya. Menahan pagi untuk tidak beranjak pergi. Tapi sayang, tidak ada chakra yang mampu mengendalikannya. Tidak ada kemampuan yang bisa mengintervensi, tidak ada waktu yang akan berhenti. Semuanya berjalan, bergerak, berpindah, dan pergi.
.
Waktu jualah yang mengantarkan kami sampai di titik ini. Masa-masa sekolah yang lucu, seru, nyaman, aman, terkendali. Masa yang akan kami kenang nanti.
.
Kalian penasaran dengan Mutia? Bukan hanya kalian. Aku juga. Aji juga. Tompi juga. Eh, apa perlu kusebutkan dua puluh teman lagi?
.
Tapi aku lebih penasaran dengan Ditta. Ditta Purwadinata. Kenapa dengan dia? Dia menjauh. Menjadi sangat jauh. Ada apa dengan dia? Setiap kali kutanya kabar, dijawab seadanya. Setiap kuajak bercanda, dijawab senyuman seadanya. Ada apa? Aku tahu persis, itu senyuman yang dipaksa. Tidak rela, tanpa sepenuh jiwa. Ada apa? Apa aku melakukan kesalahan? Tidak kan? Sungguh ironi. Dan kau tahu apa yang lebih ironi dari pertanyaan yang tak terjawab? Pertanyaan yang dijawab dengan "Tidak apa-apa."
.
That's true. Dan faktanya, mungkin ada lebih banyak lagi laki-laki yang frustasi karena jawaban itu.
.
Ya, sudahlah. Apa mau dikata? Aku tidak bisa memaksa. Lagian, mau memaksa untuk apa? Sebetulnya tidak ada yang hilang. Ditta tetap membuka komunikasi, menjawab pertanyaan, tersenyum dengan sopan. Tapi ini beda. Senyumannya tidak lagi seceria dulu. Ada sejumlah partikel yang hilang dari kadar senyumannya. Astaga, aku tidak menyangka akan jadi serumit ini. Bahkan, hanya karena senyuman yang berkurang saja akan membuat duniamu tidak berwarna? It doesn't make a sense!
.
Begitulah. Kami menjalani bulan-bulan terakhir di kelas ini dengan sebuah 'kerenggangan'. Ya. Mungkin itulah kata yang paling tepat untuk hubungan kami. Pertemanan, atau persahabatan, atau... entahlah.
.
Mutia? Dia lebih dekat dengan teman sebangkunya. Meskipun dengan sikap supel, pemberani, dan superpedenya, dia terlihat akrab dengan banyak orang. Dengan semua teman. Hanya perlu sehari untuknya bisa beradaptasi dengan kami. Akrab, dan mudah diakrabi. Mungkin seperti itu ya anak kota, pikirku dalam hati.
.
Ya, meskipun dalam banyak kesempatan, Mutia lebih sering bersama Ditta, teman sebangkunya dibanding teman lain. Mereka terlihat sangat kompak. Dalam banyak hal. Termasuk kompak mondar-mandir di kepalaku.
.
***
.
Teet...!! Teet!! Teet...!!
Bel ujian selesai dibunyikan. Sekadar formalitas saja. Karena kenyataannya, semua peserta sudah berada di luar ruangan. Meributkan sesuatu yang sama. Tadi jawab apa? Aduh, aku salah berarti. Nomor tiga puluh apa? Begitu terus selama tiga hari terakhir. Aku tidak tertarik ikutan. Lebih berminat untuk mendekati Ditta, dan Mutia. Ini hari terakhir di sekolah, mungkin ada sesuatu yang perlu dikatakan. Maaf mungkin?
.
"Hai, Ditta, Mutia." Aku mendekat. Papan ujian, pensil dan penghapus sudah tersimpan aman di ransel.
"Hai, Sur. Ada apa?" tanya Mutia sembari membereskan peralatan. Ditta yang lebih dekat denganku justru diam, tidak menjawab.
.
"Tidak ada apa-apa. Ini hari terakhir, kan ya? Ada rencana apa untuk liburan ini?"
.
"Liburan? Yang bener kita liburan? Jangan bercanda deh Sur. Kita ini harus daftar sekolah lagi. Ngurus ini itu, belajar ini itu, kursus ini itu..."
.
Deg. Suasana lengang kemudian. Pembicaraan soal mendaftar sekolah lagi membuat sesak. Ah, mungkin aku saja. Mutia tampak biasa. Bahkan lebih siap menurutku. Dari gelagatnya, ia mungkin sudah diterima di sekolah unggulan di kota. Anak itu memang cerdas. Sesuai dengan kacamata minusnya.
.
"Kamu mau daftar ke mana Sur?" tanya Mutia.
.
"Eh, aku? Entahlah. Aku juga tidak tahu. Mungkin di sekitar sini saja. Atau mendaftar di sini lagi. Aku sudah telanjur cinta dengan sekolah ini. Berat untuk pergi." Aku tertawa kecil. Mutia hanya menggeleng, Ditta masih diam.
.
"Cinta sekolah ini, apa cinta sama muridnya?" kini Mutia yang tertawa, meledekku. Matanya memberi isyarat ke arah Ditta.
.
"Ya sudah, aku pulang dulu ya, Mut, Sur." Tiba-tiba, Ditta memotong percakapan. Tanpa perlu mendapat jawaban, ucapan sampai jumpa lagi, atau sekedar senyum perpisahan, Ditta sudah kabur. Berjalan cepat menjuju arah gerbang.
.
Aku dan Mutia menatapnya dari depan ruang ujian. Ditta, perempuan dengan senyum manis itu pulang.
.
"Kamu ini nggak peka ya, jadi cowo."
.
"Heh? Peka gimana? Apa yang salah?"
.
"Soal apa lagi. Ditta lah. Bahkan sampai hari terakhir ini, kamu masih diem aja."
.
Aku memasang raut wajah bingung. Apa maksudnya? Serius aku belum paham. Apa sebetulnya kesalahanku? Bukankah selama ini yang merubah sikap justru Ditta?
.
"Surya, Surya. Jadi kamu nggak tahu?"
.
Aku menggeleng.
.
"Serius nggak tahu?"
.
Menggeleng lebih cepat. Tahu apa?
.
"Dua bulan terakhir, Ditta puasa lho."
.
Hah? Puasa? Ramadan masih dua bulan lagi, puasa apa?
.
"Yang dinasihati Pak Hamdan. Biar harapan-harapannya terkabul."
.
Aku berpikir sejenak. Berusaha mengingat-ingat. Oh, iya.
.
"Oh, biar lulus ujian tho. Kayaknya teman-teman lain juga begitu. Tapi cuma dua hari, udah nggak kuat lagi." Aku tertawa, menyadari aku sendiri hanya bisa sehari.
.
"Tapi bukan itu harapan Ditta."
.
"Hh? Lalu apa?"
.
"Biar bisa satu SMA sama kamu."
.
Boom!
Sebuah C4 sudah dijatuhkan, tepat mengenai jantung hatiku. Sesak. Kenapa tiba-tiba sesak?
.
"Se..se..serius?" tanyaku gugup. Entahlah. Kenapa pula harus gugup? Bukankah seharusnya senang? Ada seseorang yang begitu mengharapkan kebersamaan dengan kita? Tapi kenapa sikapnya selama ini justru menjauh? Ah, rumit sekali menebak jantung hati gadis yang kau cintai. Seperti kata Sinichi.
.
"Kan nggak peka."
.
"Kenapa sampai sebegitunya? Bukankah tidak terlalu sulit untuk mendaftar di satu tempat yang sama?"
.
"Mana aku tahu. Aku bukan Ditta. Dia memang aneh. Perasaannya bisa meledak sewaktu-waktu." Mutia tertawa. Tawa yang aneh. Tidak terlepas seperti biasa.
.
"Tapi dia bilang, kalau keluarganya akan pindah ke Jawa. Mungkin dia juga akan sekolah di sana."
.
Glek.
.
"Kau tahu semua ini? Dan tidak bilang padaku?" tanyaku sedikit tidak percaya.
.
"Hei, untuk apa aku cerita? Surya... Surya... aku sudah berjanji untuk jadi pendengar yang baik. Kenapa pula harus bercerita?"
.
Aku mendengus kesal. Tidak percaya, sungguh tidak percaya. Bagaimana mungkin perempuan bisa menjaga rahasia besar seperti ini dengan sangat rapat? Duh, kalaupun aku tahu, ternyata ada ribuan kali rahasia yang lebih besar untuk disimpan di hati seorang perempuan. Entahlah, sebesar apa ruangan yang disebut hati itu.

BAGIAN DELAPAN

Harapan Mutiara

* * *

Aku segera bergegas pergi. Meninggalkan Mutiara di depan ruangan ujian, sendiri. Setelah mendengar apa yang diucapkan Mutia, bisa jadi Ditta akan langsung berangkat hari ini. Aku harus segera menyusulnya. Menemuinya. Meminta maaf padanya. Apapun. Yang jelas, aku ingin melihat senyumannya lagi. Apakah itu senyuman terakhir sebelum benar-benar pergi, apakah itu senyuman terpaksa hanya demi sopan santun, aku tidak peduli. Duh, seandainya kau bilang dari awal, Ditta. Andai kau tidak terlalu egois memendamnya sendirian, mungkin aku akan bersikap lebih baik lagi. Lebih lagi. Tapi kenapa justru menjauh? Jika demi bersekolah dalam satu atap lagi kau bisa melakukan banyak hal, kenapa sekadar untuk mengatakannya saja susah? Kau benar-benar egois. Aku mendengus sebal.
.
Dalam hitungan menit, aku sudah menggoes sepeda BMX di jalan raya. Membalap beberapa teman sekelas, teman beda kelas, yang kutebak masih sibuk membicarakan soal ujian. Tadi nomor sepuluh A kan? Aduh, aku lupa mengisi nomor paket soal! Aduh, aduh...
.
Aku tidak menghiraukan. Kesibukan itu tidak lebih penting dari urusanku satu ini. Aku harus segera mengejar Ditta. Sebelum terlambat. Sebelum yang dikatakan Mutia benar, seluruh keluarganya akan pindah ke Jawa. Aku menggoes lebih cepat sepedaku. Menyusuri jalan kecamatan.
.
"Aku bukan Ditta. Dia memang aneh. Perasaannya bisa meledak sewaktu-waktu." Kalimat Mutia kembali terngiang di pikiranku. Astaga, kenapa aku tidak menyadarinya sama sekali? Bukankah perasaan Ditta sudah meledak tiga tahun lalu? Di tengah upacara bendera. Aku menghela nafas berat. Semoga kali ini belum terlambat.
.
Dua ratus meter lagi menuju rumah Ditta. Nafasku sudah terengah-engah, kakiku lelah, hatiku gelisah. Seratus meter lagi, dan semuanya akan jelas. Lima puluh meter. Tiga puluh meter. Dan aku berhenti. Nafasku memburu. Peluh sudah bercucuran tak terbendung. Tapi lajuku terhenti sebelum sampai di tujuan. Apakah sudah terlambat?
.
Entahlah. Aku tidak tahu. Bisa ya. Bisa tidak. Dari jarak ini, aku bisa melihat pintu rumahnya.
Aku memejamkan mata sejenak. Menghela nafas berat. Sangat berat. Mungkin lelah.
.
Itu dia! Jeritku dalam hati, girang. Itu si pemilik rumah, Ditta Purwadinata. Pemilik senyum merona yang telah lama tak menampakkan pesonanya. Mungkin berpuasa?
.
Ditta terlihat masih mengenakan seragam batik. Tapi ransel dan sepatunya sudah terlepas, berganti sandal pink, kesukaannya.
.
Ia terlihat mengambil sepeda, dan hendak memasukkannya ke garasi. Oh, tidak. Aku harus bergegas. Sebelum Ditta kembali ke rumah, aku beranikan diri untuk menghampiri.
.
"Ditta!"
.
Yang dipanggil berhenti melangkah. Satu meter dari pintu rumah, ia membalik arah.
.
"Surya?"
.
Aku melihat raut kegelisahan dari matanya. Atau mungkin terkejut dengan kehadiran tamu tak diundang ini.
Sepedaku sudah terparkir di pinggir jalan. Kini melangkah masuk ke halaman.
.
"Tumben?"tanya Ditta.
.
"Eh... emm.. anu.." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
.
"Ada apa?" Ditta bertanya.
.
"Kau sungguh-sungguh akan pergi?"
.
"Pergi? Pergi kemana?"
.
"Eh.. Ke Jawa? Ikut keluargamu? Kau sungguh-sungguh akan pergi?"
.
Ditta memasang ekspresi bingungnya. Belum cukup paham meski aku sudah mengatakannya dengan gamblang.
.
"Maksudmu apa Sur? Keluargaku di sini. Siapa yang mau berangkat ke Jawa? Jangan bercanda deh."
.
Aku mematung beberapa lama. Apa katanya? Apakah aku tidak salah dengar? Apakah ini berita gembira, atau justru sebaliknya?
.
"Tapi... tapi... Mutia bilang, kau akan ke Jawa, sekolah di sana ikut orang tuamu. Dia... dia juga cerita soal puasa. Tentang harapan itu..." Wajahku memerah di ujung kalimat.
.
Ditta terdiam sesaat. Otaknya masih mencerna kalimatku barusan.
.
"Apa kau bilang? Mutia yang mengatakannya?"
.
"Iya. Dia menceritakannya saat kau pulang tadi. Apakah dia berbohong? Dia mengerjaiku saja kan?" Aku berusaha tertawa, terpaksa.
.
"Tidak Surya. Dia tidak sepenuhnya berbohong. Dia jujur. Kau saja yang tidak peka."
.
Eh? Tidak peka? Lagi-lagi tidak peka? Bukankah sekarang aku sedang mewujudkan kepekaanku dengan menemuinya. Tidakkah ini sudah cukup peka?
.
"Apa maksudmu? Kau tidak pergi kan?" tanyaku memastikan.
.
"Kan nggak peka."
.
Aduh. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Dua anak ini kenapa kompak betul dialognya. Seperti sudah direncanakan saja.
.
"Mutia bilang apa soal puasa?"tanya Ditta memutus kebingunganku.
.
"Eh.. anu.. katanya kau sudah dua bulan ini berpuasa."
.
"Ya. Kami berdua, bukan aku saja. Terus, apa lagi?"
.
"Katanya, kau ingin harapanmu terwujud. Agar kita bisa satu SMA nantinya."
.
Suasana lengang beberapa saat. Ditta terdiam. Matanya berkaca-kaca. Hidungnya memerah.
.
"Ada apa? Apakah dia berbohong? Apakah dia hanya mengerjaiku?"
.
"Tidak Surya. Dia sedang berusaha untuk menyampaikannya. Tapi kau tidak peka."
.
Apalagi? Masabodo dengan peka. Aku ingin tahu yang sebenarnya.
.
"Kami janjian untuk berpuasa. Tapi kami belum menyampaikan harapan satu sama lain. Rencananya hari ini. Sepulang sekolah tadi. Tapi kamu malah datang."
.
Deg. Apa maksudnya ini?
.
"Jadi yang disampaikan Mutia itu... adalah harapan pribadinya." Ditta menunduk, nadanya rendah.
.
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
.
"Dan yang akan pergi ke Jawa, itu juga dia. Ayahnya dipindah tugaskan di Jawa. Alasan yang sama kenapa dia pindah ke sekolah kita. Ikut ayahnya. Sekarang, Mutia juga harus ikut ayahnya lagi."
.
Aaark! Teriakku dalam hati. Kenapa aku tidak menyadarinya. Mutia. Dia tadi bertingkah aneh. Tawanya tidak seperti biasa. Ada sesuatu yang disembunyikan. Dan ternyata. Duh, berapa kali lagi aku harus menghadapi hati perempuan?
.
Aku menelan ludah. Apa yang harus kulakukan?
.
"Kapan dia akan berangkat?" tanyaku buru-buru.
.
"Seharusnya besok."
Seharusnya? Tidak... tidak. Aku tidak ingin terjebak lagi. Aku harus, aku harus menemui separuh hatiku yang lain.
.
Tanpa merasa perlu berpamitan, aku segera beranjak dari rumah Ditta. Meninggakannya sendiri, yang entah bagaimana pula perasaannya. Perempuan. Aku sungguh tidak tahu bagaimana jalan pikiran kalian. Rumit, pelik, seperti labirin, penuh jebakan. Dan sialnya, sekarang aku sedang terjebak oleh dua labirin sekaligus. Mereka benar-benar kompak.
.
Sepeda BMX yang sudah termodif ini segera melesat menyusur jalan kecamatan. Mengandalkan sisa-sisa kekuatan kaki, mengumpulkan sisa-sisa nafas.
.
Mutiara Citra Kirana. Sosok cinta pada pandangan pertamaku. Pertemuan awal yang sungguh di luar dugaan. Kini akan terpisah, masih di luar dugaan. Tega sekali kau, Mutiara. Bagaimana mungkin kau tidak mengatakannya tadi? Atau aku yang betul-betul tidak peka.
.
"Semoga beruntung, Surya." Aku mendengar suara itu. Entah darimana asalnya. Mungkin dari arah belakangku, dari sesosok gadis yang kutinggalkan untuk mengejar cinta yang lain. Aku tidak bisa melihatnya. Jua tak ingin membayangkannya. Tapi entah kenapa, kini Ditta hadir dalam benakku, dengan tangis, tersedu. Apakah dia benar-benar menangis? Entahlah. Bukan tidak penting, tapi tidak mendesak. Aku masih bisa menemuinya nanti. Tapi Mutia?
.
Lima belas menit kemudian, aku sudah memarkirkan sepeda di belakang kantor sekolah. Kalau hari biasa, jelas tidak boleh. Tapi sekarang sudah sepi. Sekolah ini kehilangan penghuninya. Duh, semoga belum terlambat.
.
Aku segera berlarian menuju ruangan ujian tadi. Berharap sosok gadis berkacamata itu masih duduk manis di sana.
.
Ada! Ada seseorang di sana. Aku segera melangkah cepat, mendekat.
.
Tunggu dulu... hei. Itu bukan Mutia, tapi Aji. Hatiku mendadak melemah. Persendianku berdecit. Jantungku berdebar.
.
"Di mana Mutia?"
.
"Sudah dijemput mobil tadi."
.
"Apa? Oh tidak. Aku harus segera menyusulnya."
.
"Sudah tidak bisa, Surya. Dia sudah bilang padaku tadi."
.
"Apa katamu? Dia bilang sesuatu?"
.
Aji mengangguk. "Kau pikir kenapa aku masih duduk di sini, bukannya pulang? Mutia memintaku untuk menunggu di sini sebentar. Dia bilang, kau pasti akan kembali ke sini. Ada sesuatu yang tertinggal."
.
Aku menelan ludah. Resah.
.
"Dia sudah pamit padaku. Dan untukmu, dia meninggalkan sesuatu."
.
"Apa?" tanyaku pelan.
.
"Maaf. Katanya dia menitipkan maaf, sudah mengerjaimu. Hitung-hitung balasan telah menertawainya.

BERSAMBUNG

Minggu, 26 Juni 2016

[Cerbung] Hos'Corta - Episode 5





BAGIAN LIMA

Masa Orientasi Siswa

* * *
Namaku Jan. Beruntunglah di kampus nama itu tidak begitu banyak dipakai orang. Beda sekali dengan masa-masa sekolah di Madrasah Aliyah dulu. Nama Jan, meski sebenarnya tak lazim, ternyata dipakai oleh tiga punggawa kelas X-1. Pertama, Jan yang benar-benar aku. Kedua, Jan si ketua kelas. Ketiga, Jan Bastian. Ketiganya tak mau mengalah untuk melepaskan panggilan Jan, sampai suatu ketika terjadi peristiwa mengerikan, yang selalu melibatkan Bu Wali.
Kelas masih sibuk dengan ujian sosiologi, mata pelajaran yang diampu Bu Wali. Urusan ketegasan, serahkan pada beliau. Kau bahkan takkan sempat meminjam bolpoin karena takut dikira mencontek. Tapi tidak denganku.
Hari itu, aku seperti biasa mengambil kesempatan untuk melirik gadis berkerudung putih di sudut kelas. Tentu tanpa sepengetahuannya, karena dia, sama seperti Nurul, sibuk mengerjakan soal-soal ulangan. Wajahnya serius, sama seriusnya ketika membaca buku-buku tebal tempo lalu.
Tanpa sepengetahuan gadis itu, bukan berarti tidak ada seorangpun yang tahu. Dari depan kelas, Bu Wali menangkap sinyal pelanggaran dari arah tempat dudukku. Bu Wali menggeleng, keheranan. Menangkap basah aku tengah melirik jauh ke sudut ruangan. Lantas menegurku keras, “Jan!”. Mengagetkan konsentrasi murid lain yang mungkin baru sampai biodata.
Karena terkaget, Aku, Jan Bastian, dan Jan si ketua kelas menjawab dengan kompak. Sontak, hal tersebut membuat seisi kelas tertawa, bingung, dan terusik. Itulah awal mula yang mendorong Bu Wali untuk berinisiatif membuat konvensi nama panggilan kami bertiga. Meskipun aku tak setuju dengan acara konyol itu, beruntungnya aku yang memenangkan konvensi pemilihan nama panggilan “Jan”.
Kejadian sore ini, telah menghujani ingatanku dengan tetes-tetes masalalu yang penuh kenangan. Peristiwa yang baru saja terjadi, telah membuka kembali ingatanku di masa itu.
Hari itu Senin, akhir Juli. Kami sekelas dalam masa-masa orientasi siswa. Wajah baru, pakaian baru, teman-teman baru, tempat baru, dan semua yang berbaru-baru.
Hey lihatlah, celanaku masih pendek. Bukan main malunya ketika teringat masa itu. Celana yang begitu ketat, lima senti di atas lutut. Warna biru tua yang mencirikan pelajar SMP. Aku masih belum diizinkan mengenakan seragam SMA yang abu-abu. Belum juga dibagikan seragam khas milik Madrasah Aliyah kota. Maka dengan apa adanya, kuikuti masa paling menyedihkan selama tiga tahun itu. Masa orientasi yang sudah terkotori dengan budaya-budaya perploncoan tak mendidik. Tali rapia yang birulah, gelang karet yang ungu bercampur hijau muda. Belum lagi harus mengenakan kaos kaki belang-belang sesuai dengan warna kesukaan senior. Aduhay, masa yang paling berat ini harus aku lalui selama tiga hari. Begitu menyakitkan. Tapi beruntunglah aku tak sempat mencicipi permen relaxa yang telah dioper dari mulut ke mulut lain.
Nampaknya senior-senior itu tak cukup pandai mengelola jabatan mereka. Ingin sekali aku melemparkan atribut ini di depan mata kepala mereka. Tapi apalah daya ini, aku seorang diri. Ingatlah saja ketika aku cukup kuat untuk berbicara, ketika kata-kataku kaudengarkan dan tak bisa kaubantahkan dengan argumen mlempem. Aku akan menjadi orang pertama yang merubah perploncoan ini dengan tanganku. Ingat saja itu, seruku sebal dalam hati.
Hari pertama terasa berat. Aku harus meminum dot bayi yang telah berisi susu kecap manis. Ya. Benar-benar susu kecap manis, perpaduan antara susu krim empat sendok makan dan kecap manis empat sendok makan. Itulah peraturan pertama yang harus aku ikuti selama MOS. Tega sekali. Tega! Tak habis pikir ketika memikirkan kenapa peraturan konyol itu tidak diprotes oleh guru seorang pun. Sungguh tega!
Masih teringat dengan teman SMP yang juga diterima di Madrasah Aliyah ini, Iga. Ia harus beristirahat panjang di ruang UKS setelah insiden meminum dot bayi yang berisi susu kecap manis tadi. Tidak lama setelah senior memaksa meneguk minuman asem itu, Iga mengeluarkan semua sarapan paginya lengkap dengan teh hangat yang bercampur aduk bersama cairan lambungnya. Mengerikan. Kali ini tak perlu dibayangkan.
Dan bagaimanakah nasibku?
Beruntunglah, aku masih bisa membujuk sarapanku agar lebih kerasan tetap tinggal di dalam perut. Semangkuk gulai nangka dan tiga tempe bacem yang sudah disediakan ibu, begitu lahapnya termakan tadi pagi. Tidak tega jika aku harus mengeluarkannya lagi hanya karena satu tegukan susu kecap manis. Ibarat peribahasa, karena seteguk susu kecap manis, muntah gulai nangka semangkuk utuh.
Aku tidak bisa sekonyong-konyong memprotes peraturan itu. Maka dengan segenap akal sehat, yang mungkin belum dimiliki senior-senior itu, aku harus merubahnya dengan kaki tanganku sendiri. Syukurlah, selama MOS hari pertama aku belum mendapatkan jatah hukuman dari para senior. Aku selamat dari pantauan panitia MOS yang begitu 'belagu'.
Hari pertama, begitu lambat berlalu. Hari kedua, masih lambat juga berlalu. Jam demi jam kulewati penuh harap. Menu spesial di hari kedua adalah minuman empat warna. Apapun itu, peserta MOS diwajibkan membawa minuman empat warna. Hari ketiga yang begitu menyengsarakan. Menu spesial untuk kelulusan MOS, yaitu jamu temu ireng.
Naas. Di hari-hari terakhir, aku pikir dapat mulus begitu saja melaluinya. Setelah dua hari terbebas dari jerat hukuman, karena memang aku begitu rajinnya mempersiapkan semua atribut. Bukan karena takut, hanya malas saja mendengarkan celotehan senior sok disiplin itu, makanya aku selalu mengikuti aturan main. Sengaja betul senior mencari-cari kesalahan murid baru.
Alhasil, kenalah aku . Alasan yang tidak masuk akal, mereka begitu memaksakan kesalahan yang tidak semestinya. Senior yang tidak mendapatkan mata kuliah kedewasaan nampaknya. Oh iya, kan mereka belum kuliah. Tambah lagi, mereka belum dewasa. Belum! Senior yang seperti itu aku jamin dengan seluruh tabunganku, mereka sangat kekanak-kanakan! Memikirkan balas dendam. Ya! Hanya balas dendam, sebisa mungkin mengerjai adik-adik tingkat hanya untuk melampiaskan dendam mereka semasa MOS dulu. Benar-benar tidak berprikesiswaan! Kalaulah mereka dewasa, tentu tidak akan terpikir seperti itu. Dan kalau memang dendam kesumat itu harus dilampiaskan, maka adik-adik tak bersalah itu tidak bisa dijadikan tumbal! Balas kepada mereka yang telah mengerjai (kakak tingkat dulu). Astaga, aku sampai naik pitam hanya karena memikirkannya saja.
Seorang senior menghampiriku, laki-laki. Mata sok hebatnya tak lelah mengarah kepadaku.
"Hey, kamu. Siapa nama kakak itu?" Pertanyaan yang menjurus padaku. Siang itu tak ada setitik pun awan yang berkeliaran, langit pun seperti sengaja betul membiarkan suasana panas ini menyengat.
"Tidak tahu Kak, maaf." Aku menunduk.
"Kau ini bagaimana? Masa dengan kakaknya sendiri tidak kenal. Sekarang kamu dapat hukuman." Senior itu menertawakan hal yang tak lucu. Sama sekali tidak lucu. Apanya yang lucu?
Aku menelan ludah. Cukup sudah.
"Kok dihukum Kak? Kalau saya harus menghafal satu per satu butuh waktu lebih dari tiga hari Kak." Aku menantang, siap adu nalar. Tapi aku tak ingat, hey, ini bukan debat nalar, ini acara otoritas senior. Tak butuh pembelaan apalagi nalar yang logis.
Singkat cerita, aku harus menghitung luas lapangan bola basket milik sekolah. Astaga, ini bukan lapangan bola basket, ini lapangan upacara! Ya, baru dua hari kemarin aku mengikuti upacara pembukaan MOS ini yang secara langsung dibuka oleh kepala sekolah. Berapa luasnya kira-kira? Bisa dibayangkan sendiri. Tetapi senior itu tak puas jika aku hanya membayangkan luasnya saja. Aku harus mengukurnya dengan tanganku sendiri. Benar-benar dengan tangan!
Senior itu memerintahkan dengan semena-mena, "Kau, hitung berapa jengkal keliling lapangan basket itu. Ingat, gunakan jengkal tanganmu!" kata senior ketus.
Di saat yang melelahkan seperti itu, aku ditemani oleh seorang murid baru juga. Mengenakan atribut yang sama denganku, tetapi baru pertama kalinya kami bertatapan. Dia berasal dari kelas yang sama denganku, sepuluh satu. Terlihat begitu aktif, sering bertanya dan menjawab jika diperkenankan. Nampaknya, ia begitu bersemangat dalam hal memimpin. Secara sukarela, ia menawarkan diri sebagai kepala desa. Aku tidak begitu paham dengannya. Tapi beberapa bulan selanjutnya, dialah yang menjadi saingan terberatku. Bukan dalam hal prestasi. Tetapi dalam hal sebutan nama. Dia yang begitu tegas, aku menjulukinya Jan si ketua kelas.
“Namamu juga Jan?” Kami tertawa bersama. Membuat gerombolan senior menoleh kepada kami. Dengan berteman Jan, terik panas, kami melanjutkan mengukur keliling lapangan upacara. Berapa jengkal?
Tiga hari terlewati, sah sudah aku memasuki kelas baru, keluarga baru. Aku masih ingat, satu persatu teman-teman baru mengisi ruang di dalam kehidupan sekolah. Mulai dari Jan si kepala desa yang berlanjut jabatannya menjadi ketua kelas, hey, dia mentraktirku makan setelah selesai mengukur keliling lapangan upacara. Kami tertawa lepas mengingat hitungan kami selisih lima ratus jengkal. Pastilah salah satu di antara kami asal mencomot angka.
Teman kedua, Jan Bastian, dia bukan aktor, sama sekali tak dapat berbohong ataupun bermain peran. Polos sepolos mottonya, “Maju terus pantang mundur”. Nurul, gadis yang menghalangi pandanganku dari melirik gadis paling sudut. Tak boleh tertinggal, seseorang yang bakal menjadi sejarah besar dalam hidupku. Ia yang sangat hobi dalam membaca, ditemani kacamata minus yang belum terlalu parah, bukan kacamata untuk gaya-gaya. Jilbabnya yang terlihat gagah, syar'i dengan tidak banyak variasi. Gigi gingsulnya yang terlihat sesekali ketika tak kuasa menahan tawa. Astaga, ini berlebihan sekali. Tak banyak yang boleh disampaikan untuk teman yang satu ini, kecuali bahwa dia benar-benar terjaga. Dia dia dia. Dia yang pada akhirnya akan kupanggil, "Nifa".
***
Hari sudah hampir maghrib. Tidak ada waktu untuk mengejar Nifa, kalaupun tersusul, aku pasti meninggalkan maghrib. Itupun kalau tersusul. Masalahnya aku tak tahu harus menyusul ke arah mana.
Aku hanya duduk di teras Masjid Universitas. Menyimak suasana sore yang mulai menyusup ke peraduan. Menurunkan kegelapan dari setiap sudut pengelihatan. Menyingsingkan terang, menyelimuti kegelapan. Aku menghela nafas sejenak. Menggenggam kontak motor dengan gantungan bertulisan.
Tiba-tiba, handphone yang belum jadi kulemparkan karena kesal, kini berdering sekali lagi. Muncul Owl City dengan dendang kerinduannya "Vanilla Twilight". Sebuah nada dering untuk memperingati ada pesan masuk. Nomor tanpa nama, mengirim pesan! Demi melihat isi pesan penuh makna itu, aku meloncat kegirangan.

BERSAMBUNG

Episode Selanjutnya...

Episode selanjutnya akan tayang lagi di hari Rabu ^^